Restoratif Justice Sebagai Alternatif Dalam Penyelesaian Tindak Pidana
LABUHANBATU-LH: Konsep pendekatan Keadilan Restorative (Restorative Justice) merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Fiat justisia ruat coelum, pepatah latin ini memiliki arti “meski langit runtuh keadilan harus ditegakkan”.
Atas dasar Konsep pendekatan Restorative Justice tersebut Kejaksaan Negeri Labuhanbatu melaksanakan dua penghentian penuntutan yang pertama yakni berkas perkara hasil penyidikan Nomor : BP/11/I/RES.1.6/2022/Reskrim tanggal 17 Januari 2022 melakukan perbuatan melawan hukum tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga melanggar Pasal 44 ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang mana tersangka dan saksi korban Karmi Sagala masih terikat hubungan perkawinan berdasarkan Surat Keterangan Kawin (Surat Hatorangan Hot Ripe) tanggal 23 Agustus 1993 yang dikeluarkan oleh Pendeta PJ. Ompusunggu dan Guru Huria HR, kemudian yang kedua berkas perkara pidana Nomor : BP/04/I/RES.1.6/2022/Reskrim tanggal 10 Januari 2022 atas nama tersangka Muhammad Halomoan Harahap perkara tindak pidana Penganiayaan yang melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHPidana (Senin, 07/03/2022).
Dilansir dari Humas Kejaksaan Negeri Labuhanbatu Firman H Simorangki, SH, MH yang juga selaku Kepala Seksi Intelijen menyampaikan bahwa berhasil melakukan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif terhadap perkara tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jefri Penanging Makapedua, SH,MH selaku Kajari Labuhanbatu menerangkan bahwa Tersangka Pendi Sianturi melanggar Pasal 44 ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagaimana Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Kepala Kejaksaan Negeri Labuhanbatu (RJ-14) Nomor : 03/L.2.18/Eku.2/03/2022 tanggal 7 Maret 2022.
Jefri Penanging Makapedua, SH,MH selaku Kajari Labuhanbatu menerangkan bahwa Tersangka sebagaimana berkas perkara hasil penyidikan Nomor : BP/11/I/RES.1.6/2022/Reskrim tanggal 17 Januari 2022 melakukan perbuatan melawan hukum tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga melanggar Pasal 44 ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang mana tersangka dan saksi korban KARMI SAGALA masih terikat hubungan perkawinan berdasarkan Surat Keterangan Kawin (Surat Hatorangan Hot Ripe) tanggal 23 Agustus 1993 yang dikeluarkan oleh Pendeta PJ. Ompusunggu dan Guru Huria HR.
Proses penanganan perkara atas nama Tersangka Pendi Sianturi telah dilakukan Tahap II (penyerahan tersangka dan barang bukti) pada tanggal 23 Februari 2022 dengan status menjadi tahanan penuntut umum sampai tanggal 14 Maret 2022. Mengacu kepada Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan mengingat serta mempertimbangkan adanya niat perdamaian antara korban dan tersangka, penuntut umum secara persuasif menawarkan upaya perdamaian kepada korban dan tersangka, dengan hasil sepakat untuk melakukan perdamaian.
Upaya perdamaian tersebut dihadiri oleh Pihak Penuntut Umum, Penyidik, Korban, Tersangka, dan Keluarga Tersangka, yang sebagaimana Surat Perdamaian tanggal 25 Februari 2022 antara Pendi Sianturi (Tersangka) dan Karmi Sagala (Korban).
Ia juga menjelaskan, berdasarkan Surat Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatara Utara Nomor : R-2132/L.2/Eku.2/03/2022 tanggal 7 Maret 2022 dinyatakan disetujui untuk melakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dalam perkara tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga atas nama Pendi Sianturi melanggar Pasal 44 ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dengan pertimbangan sebagai berikut :
Bahwa tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana. Bahwa tersangka melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (Lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah). telah ada kesepakatan perdamaian antara korban dengan tersangka sebagaimana Surat Perdamaian tertanggal 25 Februari 2022.
Terhadap perkara selanjutnya melalui Kepala Seksi Intelijen Firman H Simorangkir, SH, MH juga memaparkan bahwa pada hari ini Senin tanggal 7 Maret 2022 bertempat di Kejaksaan Negeri Labuhanbatu, Kepala Kejaksaan Negeri Labuhanbatu Jefri Penanging Makapedua, SH,MH resmi mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Kepala Kejaksaan Negeri Labuhanbatu Nomor : 02/L.2.18/Eoh.2/03/2022 tanggal 7 Maret 2022, yang menetapkan penghentian penuntutan berkas perkara pidana Nomor : BP/04/I/RES.1.6/2022/Reskrim tanggal 10 Januari 2022 atas nama tersangka Muhammad Halomoan Harahap berdasarkan keadilan restoratif terhadap perkara tindak pidana Penganiayaan yang melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHPidana.
Masih dalam paparannya proses penanganan perkara atas nama Tersangka Muhammad Halomoan Harahap telah dilakukan Tahap II (penyerahan terdakwa dan barang bukti) pada tanggal 19 Februari 2022 dengan status menjadi tahanan penuntut umum sampai tanggal 12 Maret 2022. Mengacu kepada Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan mengingat serta mempertimbangkan adanya niat perdamaian antara korban dan tersangka, penuntut umum secara persuasif menawarkan upaya perdamaian kepada korban dan tersangka, dengan hasil sepakat untuk melakukan perdamaian.
Upaya perdamaian tersebut dihadiri oleh Pihak Penuntut Umum, Penyidik, Korban, Tersangka, dan Keluarga Tersangka, yang sebagaimana Surat Perdamaian tanggal 23 Februari 2022 antara Muhammad Halomoan Harahap (Terdakwa) dan Dedi Ahmad (Korban) dan berdasarkan Surat Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatara Utara Nomor : R-2131/L.2/Eoh.2/03/2022 tanggal 07 Maret 2022 dinyatakan disetujui untuk melakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dalam perkara tindak pidana Penganiayaan atas nama Muhammad Halomoan Harahap melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHPidana, dengan pertimbangan sebagai berikut :
Bahwa tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana. Bahwa tersangka melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP yang diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan. Telah ada kesepakatan perdamaian antara korban dengan tersangka sebagaimana Surat Perdamaian tertanggal 23 Februari 2022.
Sebagaimana kita ketahui Keadilan restorative (Restorative Justice) akan memberikan keadilan bagi semua pihak dengan memenuhi hak-hak dan kebutuhan semua pihak. menekankan bahwa keadilan restoratif mementingkan pemulihan korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat. Restorative justice melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam suasana dialog untuk mencari penyelesaian.
Keadilan restoratif bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat.(Afdillah)