764 views

Hari Ke-3 Demo Sengketa Lahan 32 HA, Hari Ini Giliran Gubernur Sumsel Yang Didemo Warga Labi-Labi

PALEMBANG-LH: Ratusan massa yang tergabung dalam Persatuan Masyarakat Pejuang Tanah Alang Alang Lebar melakukan Aksi Long March berjalan kaki dari Kantor DPRD Sumsel menuju Kantor Gubernur Sumatera Selatan yang terletak di Jl. Kapt. A. Rivai No.3 Kecamatan Ilir Timur I, Palembang. Aksi Massa yang banyak diilkuti Ibu-Ibu, kali ini merupakan aksi yang dilakukan hari ke-3 berturut-turut, setelah sebelumnya Aksi Massa mendatangi Kantor BPN Sumsel dan Kantor DPRD Sumsel. Aksi Hari Ini (Jumat, 10/07/2020-Red), tampak semakin besar jumlah peserta yang menghadirinya.

Dalam percakapannya Via Telpon Seluler kepada liputanhukum.com (LH), Koordinator Aksi Edi Susilo yang juga sebagai Ketua Umum Serikat Tani Nasional Propinsi Sumatera Selatan mengatakan bahwa Masyarakat Pejuang Tanah Alang Alang Lebar bersama STN dan KRASS menggelar aksi demonstrasi, Jumat (10/7/2020-Red) di Kantor Gubernur Sumatera Selatan, untuk menyampaikan aspirasinya secara langsung kepada Gubernur Sumsel Herman Deru, terkait sengketa lahan seluas 32 hektar (Ha) antara 521 Kepala Keluarga (KK) warga dengan pihak PT Timur Jaya Grup yang mengklaim kepemilikan atas lahan tersebut sejak 2019 lalu.

Saat menerima aksi massa Gubernur Sumsel Herman Deru berjanji, akan menyelesaikan persoalan lahan di kawasan Labi-labi itu secara terhormat melalui dinas terkait di Sumsel dengan cara yang sehat. “ Agar tidak terjadi salah sangka, Saya minta BPN bukan hanya sekadar berpatokan dari sertifikat yang dimiliki oleh perorangan atau badan hukum, tapi luas yang sebenarnya. Baik melalui Kadastral atau Goggle Map, dan Saya minta ini dapat diselesaikan debgan baik “ pungkas Gubernur Sumsel itu (Jumat, 10/07/2020-Red).

Seperti diketahui, tanah yang berlokasi di daerah Labi-labi Kelurahan Alang-alang Lebar Kecamatan Alang-alang Lebar Kota Palembang seluas 32 Hektar adalah tanah hutan tak bertuan berasal dari Kabupaten Musi Banyuasi, Banyuasin dan kemudian Kota Palembang Kecamatan Talang Kelapa dan Kemudian dimekarkan jadi Kecamatan Alang-alang Lebar. Diceritakan Edi Susilo, bahwaTahun 2003 Masyarakat datang untuk bercocok tanam untuk menlanjutkan hidup anak istri (tidak ada yang melarang dan mengakui mempunyai lahan, termasuk PT. TIMUR JAYA GRUP).

Berikiut adalah Cerita Lengkap Versi Edi Susilo:

Tahun 2005 Lahan tersebut terbakar, masyarakat memandamkan dengan aparat TNI (tidak ada yang datang mengakui mempunyai lahan, termasuk PT. TIMUR JAYA GRUP). Kemudian, Tahun 2006 Terbentuk Rt pertama kali di daerah tersebut, bernama Hermanto Satar. Tahun 2006-2015, Masyarakat bertambah banyak bercocok tanam di lahan tersebut (tidak ada juga yang melarang dan datang mengakui mempunyai lahan, termasuk PT. TIMUR JAYA GRUP). Tahun 2015 Lahat terbakar luas, yang memadamkan masyarakat dan aparat TNI (tidak ada juga yang datang mengakui dan menyatakan lahannya terbakar termasuk PT. TIMUR JAYA GRUP ).

Tahun 2015-2019 Masyarakat bertambah lagi banyak menguasai, menanam bercocok tanam, garap dan menghasilkan untuk kelangsungan hudup anak istri (tidak ada juga yang melarang dan mengakui memiliki lahan termasuk PT. TIMUR JAYA GRUP). Desember Tahun 2019, ada yang datang atas nama PT. TIMUR JAYA GRUP diwakili Penasehat Hukum bernama Reza mengakui memiliki lahan tersebut, dengan menunjukan bukti Sertifikat Hak Milik, namun tidak menunjukan isi SHM, baik luasan maupun Lokusnya. Dan akhirnya menawarkan ganti rugi. Belum ada kesepakatan, karena masyarakat meminta waktu untuk bermusyawarah dengan yang lainnya.

Satu Minggu kemudian PT. TIMUR JAYA GRUP diwakili oleh Penasehat Hukumnya datang lagi, namun tidak membicarakan ganti rugi, malah membawa alat berat untuk mengusur lahan yang sudah ditanami oleh masyarakat. Dihadang oleh masyarakat, akhirnya alat berat Stop dan Penasehat Hukum PT. TIMUR JAYA GRUP mundur.

Pada 6 Januari 2020, terjadi mediasi dilapangan/lahan yang dihadiri pemerintah terkait, namun tidak ada titik temu dan bersepakat secara lisan, status quo (pihak PT. TIMUR JAYA GRUP tidak boleh beraktivitas dan masyarakat juga tidak boleh beraktivitas). Namun pihak PT. TIMUR JAYA GRUP mengingkari kesepakatan lisan, dengan terus beraktifitas menggerakan alat berat untuk menggusur. Masyarakat marah dan menyetop alat berat tersebut.

Kemudian, 28 januari 2020, kembali terjadi mediasi dilapangan/lahan yang dihadiri pemerintah terkait, pihak PT. TIMUR JAYA GRUP meminta kembali batas (ngukur ulang) tapi tidak bisa membuktikan titik koordinat dimana lahan mereka tersebut. kemudian malah mengukur lahan yang sudah mereka gusur pakai alat berat waktu itu.
29 januari 2020, PT. TIMUR JAYA GRUP memasang plang nama atas nama TIMUR JAYA GRUP di lahan tersebut.

Selanjutnya, 11 Febuari 2020, Penasehat Hukum PT. TIMUR JAYA GRUP mengirimkan surat undangan prihal klarifikasi tanah (ukur Ulang) pada tanggal 12 febuari 2020 bertempat di lahan yang dikonflikkan pada pukul 09.00 wib.

Pada 12 Febuari 2020, klarifikasi tanah (ukur ulang) tidak terjadi seperti surat undangan yang beredar. Malah melanjutkan melakukan penggusuran besar besaran yang di amankan 700 personil aparat kepolisian yang dipimpin langsung KAPOLRESTABES Palembang (tanpa ada putusan pengadilan). 1 orang warga menerobos menghentikan alat berat, namun di tangkap, dipiting, dipukul, ditendang dan ditangkap. Lahan dijaga (ngepam) oleh kepolisian.

Kemudian, 14 Febuari 2020, masyarakat Unjuk Rasa ke Kantor BPN Kota Palembang. Hasilnya lewat berita acara, bahwa: tanah tersebut tidak ada sertifikat atas nama PT. TIMUR JAYA GRUP, melainkan milik 4 orang yang bernama (Fenny Suryanto, Rusdiana Suryanto, Laily Suryanto, Triyana Suryanto), namun tidak memperlihat SHM nya, luasannya ataupun lokusnya.

Mediasi pertemuan kedua belah pihak yang berkonflik akan di fasilitasi oleh BPN Kota Palembang pada tanggal 17 Febuari 2020. Sambil menunggu mediasi tanggal 17 Febuari 2020, pihak 4 orang bernama (Fenny Suryanto, Rusdiana Suryanto, Laily Suryanto, Triyana Suryanto), tidak boleh beraktifitas atau menggusur.

Kemudian, 15 Febuari 2020, Plang atas nama TIMUR JAYA GRUP dilepas mereka sendiri dan mengganti nama nama atau 4 orang yang disebut oleh BPN Kota Palembang pada saat tanggal 14 Febuari 2020. Terus, 16 Febuari 2020, 4 orang bernama (Fenny Suryanto, Rusdiana Suryanto, Laily Suryanto, Triyana Suryanto) mengindahkan isi berita acara BPN Kota Palembang pada tanggal 14 Febuari 2020 yang tidak boleh beraktifitas sampai dengan pertemuan mediasi ditanggal 17 Febuari 2020. Alat berat terus bekerja menggusur dan masyarakat kemudian mendatangi untuk menytop dengan memperlihatkan surat Berita Acara dari BPN Kota Palembang, namun tidak di gubris malah menangkap 4 orang warga yang dituduh membawa saja di kebun lahan tersebut.

Pada 19 Febuari 2020, Masyarakat berunjuk rasa ke kantor Walikota Palembang. Dan disepakat minggu depan ada mediasi dengan memanggil kedua belah pihak untuk menyelesaikan persoalannya. Kemudian, 26 Febuari 2020, Mediasi yang dipimpin oleh Asisten 1, tidak ada dialog penyelesaian masalah, yang ada malah debat antara Kapolrestabes Palembang dengan Pendamping warga. Tidak ada kesepatan atau hasil dari mediasi tersebut.

Febuari-Juni Covid datang, dan seluruh masyarakat berdiam diri diruma berupaya memutus mata rantai penyeberan. Juli 2020, lahan masyarakat sudah rata dengan tanah dan sekeliling lahan di pagar oleh yang mengaku punya tanah tersbut dan masyarakat tidak boleh masuk lagi kelahan.

Tanah ±32 hektar adalah tanah terlantar berupa hutan yang telah dikuasai dan ditatami oleh masyarakat sejak tahun 2003-2005-2015-2019 dan sampai 11 Januari 2020. (dikuatkan oleh UUD 1945 pasal 33 ayat 3 dan UUPA No.5 Tahun 1960 pasal 6, pasal 9 ayat 2, pasal 15, pasal 20, pasal 27, PP.No.36 tahun 1998 pasal 3, PP.No.11 tahun 2010 pasal 2,10,15).

Tanah ±32 hektar yang ngaku punya tanah oleh PT.Timur Jaya Grup ternyata tanah pribadi atas nama 4 orang bernama Fenny Suryanto, Rusdiana Suryanto, Laily Suryanto, Triyana Suryanto (melanggar UUPA No.5 Tahun 1960 pasal 7, pasal 15, pasal 17 ayat 3, pasal 18, pasal 27, PP. No.36 tahun 1998, pasal 3, PP.No.11 tahun 2010 pasal 2,10,15). 4 orang yang mengaku memiliki tanah ±32 hektar, baru di bulan Desember 2019 (melanggar UUPA No.5 Tahun 1960 pasal 10 ayat 1,pasal 27, PP. No.36 tahun 1998, pasal 3, PP.No.11 tahun 2010 pasal 2,10,15 ).

4 orang yang mengaku memiliki tanah ±32 hektar tidak bisa menunjukkan dimana lokasi tanahnya dan luasannya (melanggar KUHP pasal 170, pasal 385).

Aparat kepolisian Resort Kota Palembang tidak mengedepankan kemanusiaan, keharmonisan, pelindung dan pengayom dan memberi rasa aman kepada seluruh masyarakat yang sedang bertikai atau bermasalah malah lebih condong keberpihakan dengan 4 orang yang mengakui punya lahan ±32 hektar.

Tanah yang telah ditanami, garap dan duduki masyarakat sudah digusur oleh 4 orang yang mengakui punya lahan yang diamankan oleh 700 personil dipimpin langsung oleh Kapolresta Palembang dengan mengatakan yang menghalangi akan disikat. Kemudian 5 orang terpenjara dituduh bawa sajam di kebun dengan 1 orang berumur 60 tahun dan anaknya 30 tahun yang menjadi tulang punggung keluarganya yang mengontrak rumah bedeng.

Dan kemudian sekarang lahan, tanaman kebun sudah rata dengan tanah dan dipagar keliling oleh 4 orang yang ngaku punya lahan itu serta sampai hari ini dijaga oleh Aparat Kepolisian ” demikian Cerita dari Edi Susilo (Jum’at, 10/07/2020-Red).

Terkait hal ini, LH belum berhasil melakukan konfirmasi dan atau klarifikasi kepada Pihak Polresta Palembang. (Awang/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.