LABURA-LH: Realisasi Pelaksanaan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) atau yang lebih dikenal dengan Program Bedah Rumah untuk 30 Warga Kelompok Penerima Bantuan (KPB) di 3 Desa yang berada di Kecamatan Marbau diduga Dimark-Down (Dibawah Budget yang Dianggarkan-Red) oleh Oknum Pelaksana di Lapangan. Padahal Proyek ini merupakan Proyek Nasional yang dibiayai APBN Tahun Anggaran 2019.
Dugaan ini terjadi setelah LH menurunkan TIM Investigasi Liputan bekerja sama dengan Rekanan Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berapliasi di dalam Perkumpulan Aliansi Bersatu LSM dan Media (ABLM) yang tergabung di DPC LSM PENJARA INDONESIA Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) untuk menelusuri informasi dari masyarakat yang sudah banyak mengeluh atas kejadian ini.
Ke-3 Desa yang sempat ditelusuri Tim Investigasi Liputan Hukum bersama ABLM adalah Desa Belongkut, Desa Aek Hite Toras, dan Desa Pare-Pare Hilir yang semuanya berada di Kecamatan Marbau, Kabupaten Labuhanbatu Utara , Propinsi Suamtera Utara. Masing-masing Desa mendapatkan 10 KPB dan semuanya masuk Kategori PKRS (Peningkatan Kualitas Rumah Swadaya).
Dari data dan investigasi bersama yang dilakukan di 3 Desa tersebut Pada Hari Minggu (09/02/2020-Red) dapat diambil Asumsi (Dugaan sementara) bentuk pelanggaran sebagai berikut:
1. Diduga telah terjadi Mark-down atas Proyek Nasional ini, dengan asumsi bahwa bantuan (BSPS) tidak seluruhnya sampai kepada Kelompok Penerima Bantuan (KPB) yang berjumlah 30 Rumah dari 3 Desa yang berada di Kecamatan Marbau (Desa Belongkut 10 Rumah, Desa Aek Hite Toras 10 Rumah, dan Desa Pare-Pare Hilir 10 Rumah) dengan estimasi rata-rata yang tersalurkan hanya sekitar Rp 6-7 Juta Per Rumah sehingga Negara berpotensi dirugikan sekitar Rp 8 – 9 Juta Per Rumah dengan Total General Kerugian Negara Rp 240 – 270 Juta;
2. Asumsi tersebut (Poin1), berdasarkan hasil konfirmasi dan atau Klarifikasi terhadap Pihak Warga Peserta KPB di satu sisi, yang kemudian dikonfrontir ke Pihak Panglong (Toko Bahan Bangunan) sebagai Penyedia Komponen Bahan Bangunan di sisi lain, sehingga didapatkan Estimasi Selisih Nilai Bahan Bangunan yang sesungguhnya dengan Nilai Bantuan (BSPS) yang terserap. Hasilnya adalah bahwa Anggaran yang Tersalurkan (terserap) bervariasi pada masing-masing Rumah Warga Peserta KPB yaitu antara Rp 2,5 Juta, Rp 4 Juta, Rp 7 Juta dan yang tertinggi Rp 12 Juta bahkan ada 3 Rumah yang belum terealisasi sama sekali. Yang lebih naïf lagi, ada Warga Peserta KPB yang justru ditarik Upah Tukang sebesar Rp 600.000 dengan alasan pelaksanaan Rehab Rumahnya melebihi 8 Hari dimana Anggaran Untuk Tukang hanya ditanggung selama 8 Hari kerja dengan Anggaran Tukang Rp 200.00 Per Hari;
3. Dibebankannya dan atau diambilnya Upah Tukang dari Pokok Rp 15 Juta BSPS padahal Upah Tukang sudah punya anggaran tersendiri yakni Rp 2,5 Juta Per Rumah sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 158 Tahun 2019.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 158 Tahun 2019 Tentang Penaikan Besaran BSPS yaitu Untuk PKRS (Peningkatan Kualitas Rumah Swadaya) dibagi Dua Kategori yakni Kategori Pertama (Umum) adalah di Provinsi yang sebelumnya Rp 15 juta menjadi Rp 17,5 juta (Termasuk Propinsi Sumatera Utara-Red) dengan perincian Komponen Bahan Bangunan Rp 15 juta dan Upah Kerja Rp 2,5 juta. Kemudian Kategori Kedua (Khusus) adalah PKRS Khusus Pulau-Pulau Kecil dan Pegunungan di Provinsi Papua dan Papua Barat menjadi Rp 35 dengan perincian Komponen Bahan Bangunan Rp 30 juta dan Upah Kerja Rp 5 juta. Sementara untuk PBRS (Pembangunan Rumah Baru Swadaya) dari semula Rp 30 juta menjadi Rp 35 juta terdiri dari komponen bahan bangunan Rp 30 juta dan upah kerja Rp 5 juta.
Sebagai Catatan, menurut Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid bahwa dalam program ini Pemerintah memang tidak memberikan bantuan dalam bentuk uang tunai, namun berupa bahan bangunan. Dalam pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat dengan membentuk kelompok untuk memperbaiki atau membangun rumah secara gotong royong. “ Nantinya tukang yang mengerjakan juga bisa diberikan upah jika memang diperlukan. Dengan demikian mereka tidak terbebani untuk mengeluarkan biaya untuk upah kerja tukang,” pungkas Khalawi Abdul Hamid kepada para Awak Media akhir Desember Tahun Lalu (Sabtu, 21/12/2019-Red).
Menurut data Kementerian PUPR bahwa untuk Tahun Tahun 2019, Program BSPS ditargetkan dapat menjangkau sebanyak 206.500 Unit Rumah Tidak Layak Huni melalui dua kegiatan yakni Peningkatan Kualitas Rumah Swadaya (PKRS) sebanyak 198.500 Unit dan Pembangunan Baru 8.000 Unit. Total Anggaran Program Rumah Swadaya BSPS dalam APBN 2019 sebesar Rp 4,28 Triliun. Target ini sebagaimana disampaikan oleh Menteri PUPR Basuki Hadimuljono Pada Akhir Tahun 2019.
Bila Estimasi Dugaan Penyelewengan Dana BSPS di 3 Desa tersebut terbukti, berarti lebih dari 50% Keuangan Negara Bocor akibat ulah Oknum yang tidak bertanggung jawab ini. Andaikata temuan yang terjadi di 3 Desa Kecamatan Marbau, Kabupaten Labura tersebut terjadi juga di Desa/Kelurahan lain di seluruh Penjuru Tanah Air, maka dapat dibayangkan seberapa besar kebocoran Anggaran yang berpotensi merugikan keuangan Negara. Hal ini disampaikan oleh ABLM melalui Juru Bicaranya. “ Kalau kita analogikan temuan dugaan penyelewangan yang terjadi di 3 Desa tersebut terjadi juga di seluruh Desa dan atau Kelurahan yang mendapatkan Bantuan BSPS maka 50% dari Rp 4,2 Triliun APBN 2019 yang diperuntukkan untuk BSPS berarti terjadi Kerugian Keuangan Negara sebesar Rp 1,1 Triliun “ pungkas Juru Bicara ABLM Ratnasari Nasution yang juga sebagai Ketua DPD LSM TIPIKOR Labura itu (24/02/2020-Red).
“ Untuk itu, Seluruh LSM yang tergabung dalam ABLM Labura meminta kepada Aparat Penegak Hukum (APH) agar serius melakukan Penyelidikan dan Menindaklanjuti Temuan dan Dugaan ini “ tambah Ratnasari.
Menurut informasi yang didapatkan di lapangan, khususnya dari Warga Peserta KPB bahwa salah seorang yang selalu berhubungan dengan warga dan atau yang mengatur proyek ini adalah Oknum Pegawai/Staf di Kantor Desa Belongkut berinisial RD. Ketika hal ini hendak dikonfirmasi dan atau diklarifikasi Redaksi LH kepada RD melalui Phonsel-nya (Selasa, 25/02/2020-Red) yang bersangkutan tidak meresponnya. Ketika ditelepon berkali-kali, RD tidak mau mengangkat padahal Phonselnya aktif. Demikian pula ketika dikonfirmasi melalui WhatsApp-nya tetap tidak ada jawaban walaupun tanda centang dua serta berwarna biru tampak dilayar pertanda sudah dilihat/dibaca oleh yang bersangkutan. Akhirnya, sampai berita ini ditayangkan belum ada Pihak dari Pelaksana Proyek ini yang terkonfirmasi. (Julhadi S./Red)