838 views

Diduga Telah Terjadi “Standar Ganda” Serta Pengabaian Asas Equality Before The Law Dalam Penerapan Hukum Pada Kasus Setia Wantri Manik

RANTAUPRAPAT-LH: Kasus Setia Wantri Manik yang saat ini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Rantauprapat dengan sangkaan Melakukan Pencurian 5 Kg Karet Lump milik PT Socfindo Aek Natas semakin mendapat sorotan dari masyarakat luas. Tanggapan yang semakin meluas atas kasus ini karena diduga telah terjadi Standar Ganda dan atau Tebang Pilih dalam penerapan dan penegakan hukum. Kenapa dalam kasus yang persis sama terjadi penerapan hukum yang berbeda ?

Hal ini disampaikan oleh Direktur LSM TIPAN-RI Labuhanbatu Bernat Panjaitan, SH, M. Hum di Kantornya (Kamis, 10/10/2019-Red). Bahkan Bernat yang juga sebagai Advokad itu menduga telah terjadi “ Jual Beli Hukum “ oleh Oknum Aparat Penegak Hukum (APH) dengan Oknum Pihak Lain yang berkepentingan dengan sebuah kasus. “ Diterbitkannya Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan Pada Tanggal 17 Oktober 2014, salah satu tujuannya, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 adalah untuk memberikan perlindungan kepada Pelaku Usaha Perkebunan dan Masyarakat. Tetapi pada kenyataannya diduga kuat Para Oknum menjadikan Undang-Undang tersebut sebagai “alat tukar bayar” baik oleh APH maupun Pihak Lain yang berkepentingan “ pungkas Dosen Fakultas Hukum Universitas Labuhanbatu (ULB) itu.

Menurut Orang Nomor Satu di LSM TIPAN-RI Labuhanbatu itu diduga terjadi Standar Ganda pada kasus yang sama. Untuk kasus Setia Wantri Manik ada kesan dipaksakan penerapan pidana yang diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 2014 sekaligus mengabaikan Penerapan Pasal 364 KUHP Jo. Perma 02/2012 tentang Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring). Akibatnya, Setia Wantri Manik ditahan sejak ditangkap. Artinya, Asas Equality Before The Law (semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum) sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 diduga diabaikan oleh oknum penegak hukum dalam kasus ini.

Sementara ada dua contoh terdahulu dalam wilayah hukum yang sama yaitu wilayah hukum Polres Labuhanbatu, Kejaksaan Negerinya Sama yaitu Kejari Rantauprapat, bahkan Pengadilannya pun juga sama yaitu Pengadilan Negeri Rantauprapat. Namun dalam dua contoh kasus ini pelakunya tidak ditahan kendatipun proses hukumnya berjalan terus sampai Inkrah. Artinya, dalam dua kasus terakhir ini hukum yang diterapkan mulai dari Penyidikan (Kepolisian), Penuntutan (Kejaksaan), sampai dengan Vonis (Hakim) adalah Tindak Pidana Ringan (Tipiring). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah Kenapa penerapan hukumnya untuk Setia Wantri Manik berbeda dengan dua contoh kasus itu ?

Kedua contoh pembanding yang dimaksud adalah:
1. Pencurian Produksi milik PT Perkebunan Nusantara-III Kebun Rantauprapat dengan Tersangka Muhammad Rifai;
Dalam kasus ini, Kasat Reskrim Polres Labuhanbatu AKP Jama Kita Purba melalui Kanit Resum Ipda Gunawan kepada TSK-nya diterapkan Pasal 364 KUH Pidana Jo. Perma 02/2012 Tentang Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring). Vonisnya pun sesuai dengan Putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat No: 9/Pend-div/2019/PN Rap, dengan hasil penetapan Terdakwa terbukti bersalah melakukan “Pencurian Ringan”. Muhammad Rifai tidak menjalani hukuman penjara (Penahanan) baik saat proses penyidikan di Kepolisian maupun setelah divonis bersalah oleh Hakim di PN Rantauprapat;
2. Pencurian produksi milik PT Perkebunan Nusantara III Kebun Aek Nabara Selatan dengan Tersangka Yanto Alias Doyok;
Dalam kasus ini, Kapolsek Bilah Hulu AKP ST Panggabean juga menerapkan Pasal 364 KUHP Jo. Perma 02/2012 tentang Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring). Vonisnya pun sesuai Putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat No.176/Pid-C/2019/PN -Rap dengan hasil Penetapan Terdakwa Terbukti bersalah melakukan “Pencurian Ringan”. Yanto Alias Doyok tidak menjalani hukuman penjara (Penahanan) baik saat proses penyidikan di Kepolisian maupun setelah divonis bersalah oleh Hakim di PN Rantauprapat.

Kedua kasus pembanding tersebut seharusnya dapat dijadikan Yurisprudensi pada kasus Setia Wantri Manik. Namun, Faktanya apa yang dialami oleh TSK Setia Wantri Manik berbeda dengan dua contoh yang sudah mendapat Keputusan Hukum Tetap tersebut. Hal inilah yang menimbulkan pertanyaan sekaligus dugaan apakah benar telah terjadi “ jual beli hukum” oleh Oknum Aparat Penegak Hukum (APH) pada kasus Anak dari Ibu Rosmawati Purba “Ibu Sekaligus Jadi Bapak ini” ? Dan ataukah justru terjadi juga “jual beli hukum” pada dua kasus pembanding karena kemungkinan diback-up oleh Mafia dibelakngnya sehingga Keduanya hanya dijerat dengan Tipiring ?

Terkait dugaan-dugaan ini, Wartawan LH mencoba melakukan konfirmasi terhadap Pihak-Pihak terkait:

1. Kapolres Labuhanbatu AKBP Agus Darojat;
Ketika dikonfirmasi dan atau diklarifikasi terkait kasus ini melalui WhatssApp Phonselnya (10/10/2019-Red). Sampai berita ini ditayangkan yang bersangkutan belum mersepon meskipun tanda ceklis dua sudah berwarna biru;

2. Kapolsek Aek Natas AKP JH Pasaribu;
Ketika dikonfirmasi dan atau diklarifikasi oleh Joni Sianipar Pengurus LSM TIPAN-RI Labuhanbatu terkait dengan penerapan UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan kepada TSK Setia Wantri Manik, “ Kapolsek hanya menjawab ‘hasil Kebun’ dan ketika dipertanyakan lagi Tentang PERMA 02/2012, JH Pasaribu hanya bungkam” jelas Joni Sianipar kepada LH (10/10/2019-Red);

3. Kapolsek Bilah Hulu AKP ST Panggabean;
Saat dikonfirmasi oleh LH melalui WhatssApp Phonselnya terkait penerapan hukuman Tipiring kepada TSK Yanto Alias Doyok, memberi penjelasan “Untuk Kabupaten Labuhanbatu dan Labuhanbatu Selatan masih diberlakukan Pasal KUHP tentang pencurian Juncto Perma 02/2012 Tentang Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring), penerapan UU No. 39/2014 Tentang Perkebunan harus dikoordinasikan dengan Kejaksaan dan dalam waktu dekat segera dikoordinasikan dengan Kejaksaan, hal ini juga sudah Saya koordinasikan dengan General Manager (GM) PTPN III DLAB3” jelas AKP ST Panggabean (Kamis (10/10/2019-Red);

4. Manajemen PTPN III Kebun Aek Nabara Selatan melalui Asisten Personalia Kebun (APK) Reza, SH;
” Usaha dan upaya sudah cukup-cukup kami lakukan guna menyelamatkan produksi dari pencurian agar UU No.39/2014 Tentang Perkebunan diterapkan kepada Pencuri, dan sudah berkali-kali dikoordinasikan dengan Kapolsek yang lama AKP B.Sihombing tetapi tetap tidak bisa” balas Reza,SH melalui WhatssApp Phonselya (10/10/2019-Red);

5. Manajemen PTPN III Kebun Rantauprapat melalui Asisten Personalia Kebun (APK) Juliandi Silalahi,SH;
Ketika dikonfirmasi melalui WhatssApp Phonselnya (10/10/2019-Red) yang bersangkutan tidak member jawaban meskipun WA-nya sudah ceklis dua biru.

Sebagai Asas Hukum, Equality Before the Law (EBL) ditemukan di hampir semua konstitusi negara termasuk Indonesia yang dicantumkan dalam Pasal 27 (1) UUD 1945. Itulah sebabnya EBL merupakan Asas Hukum yang Universal sehingga seluruh Penegak Hukum Wajib tunduk kepadanya.  Inilah norma yang melindungi Hak Asasi Warga Negara. Kesamaan di hadapan hukum berarti Setiap Warga Negara harus diperlakukan adil oleh Aparat Penegak Hukum dan Pemerintah. Maka setiap Aparat Penegak Hukum terikat secara konstitusional dengan nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam praktik. Namun,  menegakkan EBL bukan tanpa hambatan. Bisa berupa hambatan yuridis dan politis, atau hambatan sosiologis dan psikologis, termasuk hambatan adanya kepentingan bisnis dan kepentingan lainnya yang dalam hal ini Bernat  Panjaitan, SH, M. Hum menyebutnya dengan istilah “Jual Beli Hukum”. (Anto Bangun/Red)

.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.