BATAM-LH: Belum dapat terjawab siapa perayu utama dan otak intelektualnya sehingga Ririn (nama samaran di Pub-Red) terjerembab dan terjebak ke sindikasi Sex Trafficking di Batam. Yang pasti, hasil Investigasi sementara dari Liputan Hukum bahwa Ririn dipekerjakan di Pub-Dragon Batam sebagai PR dan Cewek Bokingan. Semua gerak-geriknya, aktivitasnya, bahkan hasil pekerjaannya dikendalikan Pihak Management Pub-Dragon.
Ririn, seperti halnya Cewek Bokingan yang disediakan Pub mewah ini, difasilitasi walaupun terus diawasi dengan alat komunikasi untuk menggaet para pelanggannya. Hal ini dapat dibuktikan ketika Team Investigasi LH berpura-pura order melalui Instagramnya. Berikut Contoh bukti komunikasi tersebut.
Peliputan dan Investigasi ini berawal dari laporan sepasang suami istri bernama Daus dan Nia. Pasutri ini merupakan Orang Tua Angkat dari Ririn yang nama sesungguhnya adalah Mala (Sah Kumala Wijaya-Red). Mala berasal dari keluarga kurang mampu di Lampung. Kemudian orang tua kandungnya menitip kepada Daus dan istrinya Nia untuk di bawa ke Batam dan dijadikan sebagai anak angkat.
Dari kampung (Kota Bumi Lampung-Red), Mala dibekali surat jalan dari Kelurahan mengingat yang bersangkutan belum punya KTP karena belum cukup umur. Dalam surat jalan yang dibuat lurah setempat tercantum bahwa Mala lahir pada tanggal 22 Juli 2002. Artinya, sampai berita ini ditayangkan bahwa Mala baru berumur 14 Tahun.
Setelah sampai di Batam, Mala bekerja membantu orang tua angkatnya di usaha tata rias (salon) milik orang tua angkatnya sendiri. Setelah setahun berjalan, tiba-tiba Mila kabur tanpa pamit dan tanpa alasan yang jelas (Maret 2017-Red).
Khawatir dengan keselamatan Mila, orang tua angkat mencari ke mana-mana termasuk terakhir menceritakan kejadian itu kepada wartawan LH yang ada di Perwakilan Kepri. Team Investigasi LH dibentuk, hingga akhirnya Pada Tanggal 13 Mei 2017 Mala ditemukan di Pub-Dragon Batam.
Ketika keberadaan Mala dikonfirmasi ke Pihak Management Dragon, beberapa orang yang hadir mewakili Pihak Perusahaan kelihatan kaget dan ketakutan. Hadir dari Management Perusahaan pada waktu itu antara lain GM, ST, AN, IW dan MAMI.
Melalui Mami, Pub-Dragon mengakui bahwa pada saat menerima Si Mala memang tidak ada KTP. Namun, Sang Mami berkelit bahwa Mala mempunyai Surat Keterangan Kehilangan dari Kepolisian. Jelas disini kelihatan terjadi dugaan rekayasa dan pemalsuan dokumen. “ Mana mungkin ada KTP yang hilang sedangkan KTP nya Mala aja belum pernah ada. Orang umurnya aja baru 14 Tahun “ pungkas Daus Bapak Angkat Mala kesal.
Hal yang aneh juga terjadi pada saat dikonprontir, Mala tiba-tiba tidak mengakui orang tua angkatnya. Padahal semua identitas berupa surat jalan dari kampungnya ada pada Daus dan Nia (orang tua angkatnya – Red) termasuk terakhir Kartu Keluarganya Mala dari kampung (Kota Bumi Lampung – Red).
Atas kejadian ini, besar dugaan bahwa telah terjadi kong kalikong antara Pihak Management Pub-Dragon dengan Mala dan atau bahkan diduga keras telah terjadi intimidasi terhadap Mala agar tidak mau mengakui Si Orang Tua Angkat-nya. Semua itu tentunya demi melepaskan diri dari jeratan hukum.
Dugaan ini bukan tidak beralasan. Sebab pada saat Mala dikonfirmasi, terjadi perubahan dan perbedaan jawaban tentang umurnya. Pertama menjawab umurnya 14 Tahun. Kemudian berubah jadi 16 Tahun. Terakhir berubah lagi menjadi 18 Tahun. Bahkan kesepakatan dan pengakuan Pihak Dragon yang akan memulangkan Mala kepada Orang Tua Angkatnya lengkap dengan Surat Pertanggungjawabannya juga tidak jadi dilaksanakan. Besar dugaan bahwa Dragon tetap ngotot akan menguasai Mala karena itu merupakan asset usaha yang mereka jalankan.
Pertanyaan yang muncul sekarang adalah apakah perbuatan dan tindakan yang dilakukan Pub-Dragon Batam ini melanggar hukum ?
Merujuk Kepada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka tindakan dan perbuatan yang dilakukan Pub-Dragon ini telah memenuhi unsur tindak pidana. Pada Pasal 76D berbunyi “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain “.
Dari pasal 76D tersebut dijelaskan bahwa pelaku pencabulan adalah orang yang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Sementara pada Pasal 76E dijelaskan bahwa “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul ”.
Untuk ancaman pidana terhadap kasus pencabulan termaktub dalam pasal 81 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 81:
“ (1) Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). “
Nah, bagi para pelaku pencabulan dan kekerasan terhadap anak akan mendapatkan ancaman pidana penjara paling lama lima belas tahun dan denda paling banyak lima miliar rupiah. Sementara jika pelakunya adalah Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan maka ancaman pidananya ditambah sepertiganya.
Selain UU Nomor 35 Tahun 2014, tentunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga bisa diterapkan pada kasus ini.
Pasal 2 (1); “ Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) “ . (Team/Red) .