JAKARTA-LH: Restorative Justice dalam kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang sempat diusulkan Wakil Ketua KPK Johanis Tanaka dipertanykan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW). Menurut Peneliti ICW Lalola Easter bahwa mekanisme restorative justice dalam tipikor adalah hal yang tidak tepat.
Menurut Lola, sapaan akrabnya, korban dalam restorative justice diketahui harus mendapatkan kembali hak dari kerugian yang telah diterima. Lola berpendapat apabila restorative justice ingin diterapkan dalam penanganan tipikor di Indonesia, maka penegak hukum perlu menegaskan siapa ‘korban’ yang layak menerima ganti kerugian. ” Karena konstruksinya bisa macam-macam. Kalau misalnya dibilang negara kok yang kerugian. Tapi kan pajaknya rakyat yang bayar. Emang rakyat enggak kerugian? ” sebagaimana dikutip dari CNNIndonesia.com (Jum’at, 28/10/2022).
Lola menjelaskan pendapatnya lebih lanjut sambal mempertanyakan defenisi korban itu sendiri. “ Menjadi korban langsung dari tindak pidana korupsi itu siapa? Itu pertanyaan penting yang juga harus jelas dulu apa sebetulnya standing negara ” ujar Lola mempertanyakan.
Menurut Lola, penegak hukum mestinya mengoptimalkan instrumen yang telah ada lebih dulu. Instrumen penegakan hukum terkait tipikor di Indonesia sudah diatur salah satunya dalam Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Dengan demikian, alih-alih menggunakan pendekatan baru, penegak hukum harusnya memaksimalkan peraturan perundang-undangan yang telah ada. ” Kalau memang aim-nya atau tujuannya itu adalah memaksimalisasi pengembalian kerugian negara, (itu) udah ada instrumennya. Ya pakai dulu. Maksimalisasi aja dulu ” tandas Peneliti ICW itu.
Lebih spesifik Lola menjelaskan, kedua instrumen tersebut hingga kini masih sangat jarang digunakan dalam menindak kasus korupsi di Indonesia. Padahal, dalam Pasal 18 Ayat (1) UU Tipikor, ada aturan soal pidana tambahan uang pengganti. Aturan itu menurutnya bisa digunakan untuk mengembalikan kerugian negara.
Adapun Pasal 18 Ayat (1) huruf b UU Tipikor menyebutkan bahwa terdakwa tipikor dapat dijatuhi pidana tambahan yakni pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. ” Kemudian yang kedua Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang mana yang kedua ini, TPPU itu, masih jarang banget digunakan sama penegak hukum kita. Kalau dari catatan ICW di tahun 2021, dari sekitar 1300-an terdakwa, itu penegak hukum hanya menggunakan UU TPPU untuk 11 terdakwa ” tangkas Lola memberikan argumennya.
Minimnya penggunaan kedua instrumen tersebut, menurut Lola, tidak bisa membenarkan sikap penegak hukum yang kemudian ingin memperkenalkan pendekatan baru. Menurutnya, kedua peraturan perundang-undangan itu harus diimplementasikan sepenuhnya untuk bisa menetapkan bahwa negara perlu atau tidak menerapkan pendekatan lain.
Selain itu, Lola juga menilai penerapan restorative justice belum bisa digunakan jika aparat penegak hukum berpendapat bahwa pendekatan itu semacam mekanisme penyelesaian di luar persidangan. Sebab, ujar Lola, restorative justice tetap perlu melewati proses persidangan guna mendapat legitimasi bahwa suatu kasus bisa ditangani dengan instrumen tersebut. ” Karena kalau misalnya enggak, APH (aparat penegak hukum)nya nanti abusif. Akan seenak-enaknya mereka nentuin mana yang lewat restorative justice mana yang enggak ” jelasnya.
Ketika hal ini dikonfirmasi kepada Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, yang bersangkutan mengatakan bahwa hal itu sebatas gagasannya pada uji kepatutan dan kelayakan di DPR RI. Menurutnya, pelaksanaan gagasan itu masih harus melihat aturan perundang-undangan yang berlaku. ” Itu kan cuma opini, bukan aturan, tetapi pandangan sebagai akademisi tentunya bisa saja, tetapi bagaimana realisasinya tentunya nanti lihat aturan “ pungkas Wakil Ketua KPK yang baru dilantik Presiden ini menggantikan Lili Pintauli (Jum’at, 28/10/2022).
Sebagaimana diketahui bahwa Johanis Tanak mengusulkan restorative justice dalam kasus korupsi. Hal itu ia sampaikan pada saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan di DPR.
Restorative justice merupakan proses penyelesaian kasus hukum pidana lewat cara alternatif, yaitu dengan dialog dan mediasi. Mahkamah Agung (MA) menyatakan konsep restorative justice hanya bisa diterapkan dalam kasus-kasus tindak pidana ringan dengan hukuman pidana penjara paling lama tiga bulan dan denda Rp2,5 juta. (Ahmad/Red)