SLEMAN-LH: Pasca Pemasangan Portal (Pemortalan) yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terhadap Lahan Tambang di Lereng Merapi yang dikenal dengan istilah PETI (Pertambangan Tanpa Izin), Tim Redaksi LH (liputanhukum.com) bekerja sama dengan Non-Gouvermental Organizatiaon Indonesia Law Enforcement (NGO-ILE) telah melakukan Liputan Khusus dan Investigasi ke lapangan. Liputan dan Investigasi dilakukan sejak Selasa (14/09/2021) dengan Metode Wawancara, survey lapangan dan Investigasi baik terhadap Lahan yang menjadi Obyek Pemortalan maupun Warga Pemilik Lahan, Pengelola, dan atau Warga yang terkena dampaknya termasuk kepada Para Tokoh Masyarakat sekitarnya.
Menurut hasil Liputan Khusus LH dan Investisgasi NGO-ILE tersebut ada beberapa hal resume yang dianggap perlu untuk dipublikasikan sebagai bentuk sumbangsih, baik kepada PEMERINTAHAN Daerah Istimewa Yogyakarta (Legislatif dan Eksekutif Spesial Untuk Paduka Sri Sultan Hamengku Buwono X ), Warga yang terkena dampaknya (Pengelola dan Pemilik Lahan SHM serta Warga Sekitar yang menggantungkan mata pencahariannya terhadap Obyek Pemortalan) untuk dijadikan Win-Win Solution. Win-Win Solution adalah kerangka pikir dan hati yang selalu berusaha memperoleh keuntungan bersama dalam setiap interaksi manusia.
Sejalan dengan informasi yang diumumkan secara resmi oleh Pemprov DIY maupun Pihak Legislatif dalam hal ini melalui Komisi C DPRD DIY, bahwa Jumlah dan Lokasi Obyek PETI yang sudah diportal sebanyak 14 Titik Lokasi. Dari Keempat Belas titik yang diportal tersebut, semuanya diduga melakukan pelanggaran dengan tanpa memiliki Izin Kuasa Pertambangan (KP) atau yang terkenal dengan istilah PETI.
Menurut data yang diperoleh, Keempat Belas Titik Lokasi yang diportal, 12 Titik berada di Kelurahan Umbulharjo Kecamatan Cangkringan antara lain di Dusun Tangkisan, Dusun Karangkendal, Dusun Balong, dan lainnya. Sementara 2 Titik berada di Kelurahan Wukirsari Kecamatan Cangkringan tepatnya di Dusun Surodadi dan Dusun Sulosari.
Namun, yang paling menarik untuk disoroti adalah terkait Kepemilikan atas lahan yang bersangkutan. Paling tidak ada 3 Jenis Alas Hak Atas Tanah terkait Obyek Pemortalan tersebut yakni Ground Sultan atau yang lebih dikenal dengan Sultan Ground (SG), Tanah Kas Desa (TKD), dan Hak Milik (SHM).
Dari 3 Jenis Alas Hak Atas Tanah tersebut, Liputan Khusus dan Investigasi lebih difokuskan kepada Hak Milik Warga. Kendatipun ada catatan penting, bahwa dalam persoalan ini, antara Alas Hak Atas Tanah yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sebab, dalam Fakta di lapangan, bahwa hampir mayoritas Titik Pemasangan Portal berada pada GS dan atau TKD, namun merupakan akses jalan satu-satunya menuju Titik Tambang (PETI) yang notobene dimana Hak Atas Tanahnya merupakan Hak Milik dari Warga.
DAMPAK SOSIAL DAN EKONOMI
Menurut hasil investigasi, pasca pemortalan yang dilakukan Pihak Pemprov DIY, sangat berpengaruh langsung kepada Warga khususnya yang terkena dampak langsung seperti Pemilik Lahan Hak Milik, Pengelola Lahan, Para Pekerja, dan termasuk Anggota Keluarganya yang menggantungkan penghasilan terhadap operasi tambang tersebut.
Analoginya, setiap Titik Lokasi khususnya Hak Milik, Pemiliknya lebih dari 1 Orang, bahkan ada yang mencapai 11 Orang Pemilik SHM dalam 1 Titik Lokasi Pertambangan (PETI). Ini menjadi catatan penting, karena berdampak luas kepada penghasilan masyarakat sekitar khususnya yang menggantungkan mata pencahariannya pada sektor ini. Alasannya, kalau dalam 1 Titik Pemilik SHM-nya lebih dari 1 orang, yang dikelola tersendiri oleh pengelola yang tidak selalu sebagai pemilik tanah, belum lagi Para Pekerja yang jumlahnya rata-rata diatas 10 Orang, tentunya akan berdampak langsung secara ekonomis dan Sosial khususnya kepada Para Pihak yang terlibat langsung dalam Pertambangan ini yang notobene Warga Setempat dan atau Warga Sekitar Lokasi Tambang (PETI) yang diportal. Jadi, bisa dibayangkan berapa banyak Warga yang terkena dampak ekonomi dan sosial atas pemortalan tambang ini.
MENGAPA TIDAK ADA IZIN ?
Dari hasil Wawancara dan Investigasi terhadap Para Pengelola Tambang, bahwa umumnya mereka mengakui memang tidak mengantongi Izin (KP). Ketika ditanya lebih jauh, mengapa mereka tidak mengurus izinnya terlebih dahulu sebelum mengoperasikan pertambangan tersbut, salah satu alasannya karena rumit dan mahalnya biaya pengurusan. Sementara alasan pembelaan lainnya, mereka merasa mengelola lahan milik sendiri dan atau menyewa/kerja sama dengan Pihak Pemilik Tanah tersebut dan kondisi ini sudah terjadi secara turun temurun.
Ketika ditanya kepada Para Pelaku/Pengelola termasuk Pemilik SHM, apakah ke depan ketika ada solusi yang diberikan Pihak Pemerintah/Yang Berwenang, mereka bersedia mengurus Izinnya ? Hampir seluruhnya menjawa bersedia. “ Kami mohon diberi solusi, dan kami siap mengurus izinnya selama memang dibantu untuk dipermudah. Kami betul-betul terpukul atas pemortalan ini “ pungkas salah satu Pengelola dan juga Pemilik SHM Ahmad ketika dikonfirmasi dan atau diklarifikasi di Lokasi Lahannya yang diportal di Dusun Tangkisan Kelurahan Umbulharjo Kecamatan Cangkringan (Rabu, 15/09/2021).
Pemilik SHM dan juga Pengelola Lahan lainnya juga menuturkan hal yang sama. Mereka umumnya mengeluh atas pemortalan ini dan mengharapkan adanya Win-Win Solution. “ Kami nderek (ngikut), yang penting diberikan solusinya Mas. Kami siap mengikuti arahan dan keputusan Pemerintah khususnya Ngarsodalem Kanjeng Sultan “ pungkas Pemilik lahan lainnya yang turut hadir bersama Pemilik/Pengelola di Coffee Merapi (Kamis, 16/09/2021).
TUJUAN INVESTIGASI NGO-ILE
Terkait Investigasi yang dilakukan oleh NGO-ILE, Direktur Investigasi ILE Bagus Jaya Wiratama Putra, SH menyampaikan, ” Tujuan Utama kita melakukan Investigasi ini adalah; Pertama ingin mengetahui kejadian yang sesungguhnya baik di lapangan maupun terkait regulasi yang ada. Kedua, dari hasil investigasi yang kita dapatkan nantinya bila diperlukan akan kita jadikan rekomendasi kepada Para Pihak Terkait khususnya kepada Pihak Pemerintahan (Legislatif dan Eksekutif), untuk dicarikan Win-Win Solution sehingga persoalan ini dapat dicarikan titik simpulnya. Disatu sisi Regulasi yang ada termasuk perizinannya berjalan, disisi lain Pihak Pemilik SHM/Pengelola, Warga yang terkena dampaknya baik secara Ekonomi maupun sosial juga dapat teratasi ” tandas Bagus panggilan akrab Direktur Investigasi NGO-ILE tersebut (Sabtu, 18/09/2021). (Tim/Rz/Red)