JAKARTA-LH: Mungkin tidak banyak dan atau minimal belum semua Warga Negara Indonesia yang mengetahui bahwa UUD 1945 Hasil Amandemen (I – IV) tidak memiliki Penjelasan. Redaksi mengangkat Topik ini sebagai OPINI, mengingat begitu pentingnya Penjelasan dalam setiap Produk Peraturan Perundang-Undangan. Salah satunya adalah untuk menghindari Multi-Tafsir yang berakibat munculnya Perkara Hukum yang tidak berkesudahan. Peniadaan Penjelasan pada Peraturan PerUndang-Undangan termasuk UUD 1945 Hasil Amandemen (Sebagai Konstitusi NKRI) justru dapat membingungkan Aparat Penegak Hukum, Praktisi Hukum, termasuk Para Dosen dan Mahasiswa Hukum di Perguruan Tinggi. Terlebih-lebih, ketika Perkara Hukum itu terkait dengan Hukum Tata Negara yang diantaranya mengatur Secara Spesifik tentang Politik Kekuasaan seperti yang terjadi baru-baru ini terkait Perkara Hasil Pemilu Tahun 2019.
Walaupun Peniadaan Penjelasan UUD 1945 HaSil Amandemen itu merupakan Kesepakatan dan Keputusan MPR-RI yang berakhir dengan sebuah Ketatapan, namun demi kebaikan dan ketertiban Berbangsa dan Bernegara ke depan, tidak salah juga ketika dievaluasi kembali.
Sebagaimana diketahui, bahwa ada 5 Poin kesepakatan MPR dalam Perubahan UUD 1945 (Amandemen) yaitu: Pertama, tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. Kedua, tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensil. Keempat, Penjelasan UUD 1945 Ditiadakan serta hal-hal Normatif dalam Penjelasan dimasukkan ke dalam Pasal-Pasal (Batang Tubuh-Red). Kelima, Perubahan dilakukan dengan Cara Addendum.
Nah, justru dalam 5 Poin kesepakatan MPR itulah terdapat Poin Peniadaan Penjelasan, yang dalam perjalanannya tampak semakin teruji kelemahannya dalam segala aspek kehidupan Berbangsa dan Bernegara termasuk dalam hal Pengambilan Keputusan Hukum terkait Politik dan Kekuasaan seperti Sengketa Hasil Pemilihan Presiden. Apatahlagi, Posisi Presiden di Indonesia sangatlah Vital, Sentral, dan Sangat Tinggi karena disamping Sebagai Kepala Negara, Presdien juga sebagai Kepala Pemerintahan. Dari 2 Posisi Jabatan Vital itu, tidak tertutup kemungkinan rawan dengan Penyalahgunaan Wewenang termasuk Intervensi terhadap Interpretasi Peraturan Perundang-Undangan.
Walaupun, MPR beralasan bahwa meniadakan Penjelasan UUD 1945 bertujuan untuk menghindarkan kesulitan dalam menentukan status Penjelasan dari Sisi Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, NAMUN jangan lupa bahwa Penjelasan suatu Peraturan Perundang-Undangan merupakan Interpretasi Resmi (Otentik) dari Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan itu yang dapat membantu untuk mengetahui Latar Belakang Pemikiran, Maksud dan Tujuan Perundang-Undangan diadakan. Selain itu, juga untuk menjelaskankan segala sesuatu yang dipandang masih memerlukan penjelasan. Interpretasi Resmi ini lah yang dapat membentengi Multi-Tafsir sehingga ada Kepastian Hukum dalam Penegakan Hukum (Law Enforcement) yang Tegas dan Jelas.
Terkait, alasan MPR meniadakan Penjelasan karena dari Sisi Historis, dimana diperoleh Fakta bahwa Penjelasan UUD 1945 bukan Produk BPUPKI atau PPKI (Kedua lembaga ini hanya menghasilkan Pembukaan dan Batang Tubuh) sementara Penjelasan baru dicantumkan Pada Saat UUD 1945 diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia pada 15 Februari 1946, NAMUN bukankah kesempurnaan secara Yuridis Formil sebuah Peraturan Perundang-Undangan pada saat diundangkan dalam Berita Negara ? Artinya, bahwa Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Bukankah Menetapkan UUD 1945 dalam Satu Naskah Tanpa Mengikutsertakan Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal-Pasal telah menghilangkan hal-hal yang bersifat Normatif yang tidak dirumuskan Secara Normatif ke dalam Pasal-Pasal ? Bahkan, dengan meniadakan Penjelasan, bukankah ada kemungkinan Prinsip Dasar dalam Penjelasan UUD 1945 ada yang tidak dirumuskan dalam Pasal-Pasal Perubahan UUD 1945 itu ?
Pertanyaan berikutnya adalah, bukankah menghilangkan Penjelasan yang Bersifat Normatif semacam itu dapat berakibat fatal ? Apalagi jika hal ini terkait dengan hubungan antara Penjelasan dengan Pembukaan UUD 1945. Dimana, salah satu hal terpenting dalam Penjelasan UUD 1945 adalah Rumusan yang berhubungan dengan Keberadaan dan Eksistensi Pembukaan UUD 1945 yang tak lain adalah berisi Pancasila. Rumusannya terdapat dalam Penjelasan Umum III yang menyatakan bahwa Pokok-Pokok Pikiran ini Mewujudkan Cita-Cita Hukum (Rechtsidee) yang menguasai Hukum Dasar Negara, serta Rumusan UUD menciptakan Pokok-Pokok Pikiran dalam Pasal-Pasalnya (Staatfundamentalnorm).
Terkait hal ini, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI) Prof. Maria Farida Indrati berpendapat “ kesepakatan untuk Meniadakan Penjelasan UUD 1945 dengan memasukkan hal-hal yang Normatif ke dalam Pasal-Pasal dapat berakibat hilangnya Pembukaan UUD 1945 (Pancasila), baik sebagai Cita-Cita Hukum maupun sebagai Norma Fundamental Negara ” pungkasnya pada Acara Purnabhakti Tahun yang lalu (26/09/2019-Red).
Masih mengutip pendapat Prof Maria Farida Indrati, “ Meniadakan Penjelasan UUD 1945 dalam ‘Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Satu Naskah’ sama saja meletakkan Pembukaan Sekadar Hiasan atau Pemanis (Accessory), dan Tanpa Makna. Jika kondisi ini dibiarkan, maka ada pengabaian terhadap Pancasila Sebagai Filosofi dan Pedoman Dasar dalam Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Bahkan mungkin saja pengingkaran terhadap Pancasila “ tegas Guru Besar Hukum itu.
Oleh karena itulah, Selain sebagai Ideologi Negara dan Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Pancasila sebagai Hukum Positif merupakan Sumber dari Segala Sumber Hukum di Indonesia. Artinya, tidak boleh ada Peraturan Perundang-Undangan yang tidak sejalan apalagi bertentangan dengan Pancasila. Atas dasar itu, maka Para Pendiri Bangsa ini menempatkannya di dalam Pembukaan UUD 1945 dengan Status Permanen. Permanen dalam pengertian, tidak boleh dirubah apalagi diganti. Merubah dan atau Mengganti Pembukaan UUD 1945 yang berisi Pancasila itu sama saja artinya membubarkan NKRI.
Sejarah membuktikan, perubahan terhadap UUD 1945 yang terjadi pada Awal-awal Kemerdekan yakni dengan adanya UUD RIS dan UUD Sementara telah membawa Perpecahan dan Disintegrasi sehingga situasi Chaos itu terpaksa diamankan dengan terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit Presiden ini mempunyai arti penting bagi Republik Indonesia yaitu: Pertama, Bangsa Indonesia terhindar dari konflik yang terus-menerus yang dapat membahayakan persatuan dan kesatuan dengan dibubarkannya sistem Demokrasi Liberal dan menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin. Kedua, Dibentuknya MPRS dan DPAS yang sesuai dengan tuntutan UUD Negara Republik Indonesia 1945. Ketiga, Dengan adanya Perintah KASAD untuk mengamankan jalannya Dekrit, kekuatan militer memegang peranan penting dalam percaturan politik di Indonesia.
Pertanyaan yang mendasar saat ini adalah, Apa Solusi Terbaik Buat Bangsa ini ? Apakah harus kembali kepada UUD 1945 Non-Amandemen ATAUKAH justru melakukan kembali Amandemen Berikutnya untuk alasan perbaikan ATAU PULA tetap mempertahankan UUD 1945 Hasil Amademen (I – IV) yang berlaku saat ini ? Semua ini kembali kepada Kita Rakyat Indonesia sebagai Pemilik yang Syah atas Negara ini.
Berikut adalah Naskah Penjelasan UUD 1945 Sebelum Amandemen:
” PENJELASAN TENTANG UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA INDONESIA
UMUM
I. Undang-undang Dasar, sebagian dari hukum dasar.
Undang-undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar Negara itu. Undang-undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya Undang-undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara, meskipun tidak ditulis.
Memang untuk menyelidiki hukum dasar (droit constitutionnel) suatu negara, tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal Undang-undang Dasarnya (loi constituionnelle) saja, akan tetapi harus menyelidiki juga sebagaimana prakteknya dan sebagaimana suasana kebatinannya (geistlichen Hintergrund) dari Undang-undang Dasar itu.
Undang-undang Dasar Negara manapun tidak dapat dimengerti, kalau hanya dibaca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya Undang-undang Dasar dari suatu Negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui, keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin.
Dengan demikian kita dapat mengerti apa maksudnya Undang-undang yang kita pelajari aliran pikiran apa yang menjadi dasar Undang-undang itu.
II. Pokok-pokok pikiran dalam pembukaan.
Apakah pokok-pokok yang terkandung dalam pembukaan Undang-undang Dasar.
1.”Negara” –begitu bunyinya– yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian Negara persatuan, Negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi Negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Negara, menurut pengertian “pembukaan” itu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah suatu dasar Negara yang tidak boleh dilupakan.
2.Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
3.Pokok yang ketiga yang terkandung dalam “pembukaan” ialah negara yang berkedaulatan Rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu sistim negara yang terbentuk dalam Undang-undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan Rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia.
4.Pokok pikiran yang keempat, yang terkandung dalam pembukaan ialah negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karna itu Undang-undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan Pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara, untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
III. Undang-undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam “pembukaan” dalam pasal-pasalnya.
Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-undang Dasar Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar Negara, baik hukum yang tertulis (Undang-undang Dasar), maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya.
IV. Undang-undang Dasar bersifat singkat dan supel.
Undang-undang Dasar hanya memuat 37 pasal. Pasal-pasal lain hanya memuat peralihan dan tambahan. Maka rencana ini sangat singkat jika dibandingkan misalnya dengan Undang-undang dasar Filipina.
Maka telah cukup jikalau Undang-undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi, kepada Pemerintah Pusat dan lain-lain penyelenggara Negara untuk menyelenggarakan kehidupan Negara dan kesejahteraan sosial. Terutama bagi negara baru dan Negara Muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok, sedang aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, merubah dan mencabut.
Demikianlah sistim Undang-undang Dasar. Kita harus senantiasa ingat kepada dinamik kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Masyarakat dan Negara Indonesia tumbuh, zaman berubah terutama pada zaman revolusi lahir batin sekarang ini.
Oleh karena itu kita harus hidup secara dinamis, harus melihat segala gerak-gerik kehidupan masyarakat dan Negara Indonesia. Berhubung dengan itu janganlah tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk, (Gestaltung) kepada pikiran-pikiran yang masih mudah berubah.
Memang sifat aturan yang tertulis itu mengikat. Oleh karena itu, makin “supel” (Elastic) sifatnya aturan itu makin baik. Jadi kita harus menjaga supaya sistim Undang-undang Dasar jangan sampai ketinggalan zaman. Jangan sampai kita membikin Undang-undang yang lekas usang (“verouderd”). Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidup Negara, ialah semangat, semangat para penyelenggara Negara, semangat para Pemimpin pemerintahan. Meskipun dibikin Undang-undang Dasar yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara Negara, para pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, Undang-undang Dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktek. Sebaliknya meskipun Undang-undang Dasar itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara pemerintahan baik, Undang-undang Dasar itu tentu tidak akan merintangi jalannya Negara. Jadi yang paling penting ialah semangat. Maka semangat itu hidup, atau dengan lain perkataan, dinamic. Berhubung dengan itu, hanya aturan-aturan pokok-pokok saja harus ditetapkan dalam Undang-undang Dasar, sedangkan hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan aturan-aturan pokok itu harus diserahkan kepada Undang-undang.
SISTIM PEMERINTAHAN NEGARA.
Sistim pemerintahan negara yang ditegaskan dalam Undang-undang Dasar ialah:
I. Indonesia, ialah negara yang berdasar atas Hukum (Rechtsstaat).
1.Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).
II. Sistim Konstitusionil.
2.Pemerintahan berdasar atas sistim konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
III. Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat, (Die gesammte Staatsgewalt liegt alle in bei der Majelis).
3.Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu Badan, bernama “Majelis Permusyawaratan Rakyat” sebagai penjelmaan seluruh Rakyat Indonesia (Vertrettungsorgan des Willens des Staatvolkes). Majelis ini menetapkan Undang-undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan wakil Kepala Negara (Wakil Presiden).
Majelis inilah yang memegang kekuasaan Negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan Negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis.
Presiden yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Ia ialah “mandataris” dari Majelis, ia berwajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak “neben”, akan tetapi “untergeordnet” kepada Majelis.
IV. Presiden ialah penyelenggara Pemerintah Negara yang tertinggi dibawahnya Majelis.
Dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah penyelenggara Pemerintah Negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggung-jawab adalah di tangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the President).
V. Presiden tidak bertanggung-jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Di samping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk Undang-undang (Gesetsgebung) dan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja Negara (“Staatsbegrooting”).
Oleh karena itu Presiden harus bekerja bersama-sama dengan Dewan, akan tetapi Presiden tidak bertanggung-jawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari pada Dewan.
VI. Menteri Negara ialah pembantu Presiden; Menteri Negara tidak bertanggung-jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden mengangkat dan memberhentikan Menteri-menteri Negara. Menteri-menteri itu tidak bertanggung-jawab.kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukannya tidak tergantung dari pada Dewan, akan tetapi tergantung dari pada Presiden. Mereka ialah pembantu Presiden.
VII. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Meskipun Kepala Negara tidak bertanggung-jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, ia bukan “diktator” artinya kekuasaan tidak terbatas. Di atas telah ditegaskan, bahwa ia bertanggung-jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kecuali itu ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Dewan ini tidak bisa dibubarkan oleh Presiden (berlainan dengan sistim parlementair). Kecuali itu anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat semuanya merangkap menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Oleh karena itu Dewan Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan Negara yang telah ditetapkan oleh Undang-undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa minta pertanggungan-jawab kepada Presiden.
Menteri-menteri Negara bukan pegawai tinggi biasa.
Meskipun kedudukannya Menteri Negara tergantung dari pada Presiden, akan tetapi mereka bukan pegawai tinggi biasa oleh karena Menteri-menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan Pemerintah (pouvoir executief) dalam praktek.
Sebagai pemimpin Departemen, Menteri mengetahui seluk-beluk-nya hal-hal yang mengenai lingkungan pekerjaannya. Berhubung dengan itu Menteri mempunyai pengaruh besar terhadap Presiden dalam menentukan politik negara yang mengenai Departemennya. Memang yang dimaksudkan ialah, para Menteri itu Pemimpin-pemimpin Negara.
Untuk menetapkan politik Pemerintah dan koordinasi dalam pemerintahan Negara para Menteri bekerja bersama, satu sama lain seerat-eratnya di bawah pimpinan Presiden.
TENTANG PASAL-PASAL.
BAB I.
BENTUK DAN KEDAULATAN NEGARA.
Pasal 1
Menetapkan bentuk negara kesatuan dan Republik, mengandung isi pokok pikiran kedaulatan rakyat.
Majelis Permusyawaratan Rakyat, ialah penyelenggara negara yang tertinggi. Majelis ini dianggap sebagai penjelmaan Rakyat, yang memegang kedaulatan Negara.
BAB II.
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
Pasal 2
Maksudnya ialah, supaya seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan mempunyai wakil dalam Majelis, sehingga Majelis itu akan betul-betul dapat dianggap sebagai penjelmaan rakyat.
Yang disebut “golongan-golongan”, ialah badan-badan seperti koperasi Serikat Sekerja dan lain-lain badan kolektif. Aturan demikian memang sesuai dengan aliran zaman. Berhubung dengan anjuran mengadakan sistim koperasi dalam ekonomi, maka ayat ini mengingat akan adanya golongan-golongan dalam badan-badan ekonomi.
Ayat 2. Badan yang akan besar jumlahnya bersidang sedikit-dikitnya sekali dalam 5 tahun. Sedikit-dikitnya, jadi kalau perlu dalam 5 tahun tentu boleh bersidang lebih dari sekali dengan mengadakan persidangan istimewa.
Pasal 3
Oleh karena Majelis Permusyawaratan Rakyat memegang kedaulatan Negara, maka kekuasaannya tidak terbatas, mengingat dinamik masyarakat, sekali dalam 5 tahun. Majelis memperhatikan segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu dan menentukan haluan-haluan apa yang hendaknya dipakai untuk di-kemudian hari.
BAB III.
KEKUASAAN PEMERINTAH NEGARA.
Pasal 4 dan pasal 5 ayat 2.
Presiden ialah Kepala Kekuasaan executif dalam Negara. Untuk menjalankan Undang-undang, ia mempunyai kekuasaan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah (“pouvoir reglementair”).
Pasal 5 ayat 1.
Kecuali “executive power”, Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan “legislative power” dalam Negara.
Pasal-pasal 6, 7, 8, 9.
Telah jelas.
Pasal-pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15.
Kekuasaan-kekuasaan Presiden dalam pasal-pasal ini, ialah konsekwentie dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara.
BAB IV.
DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG.
Pasal 16
Dewan ini ialah sebuah Council of State yang berwajib memberi pertimbangan-pertimbangan kepada Pemerintah. Ia sebuah Badan Penasehat belaka.
BAB V.
KEMENTERIAN NEGARA.
Pasal 17
Lihatlah di atas.
BAB VI.
PEMERINTAHAN DAERAH.
Pasal 18
I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu “eenheidsstaat”, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat “Staat” juga.
Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat autonom (streek – dan locale rechtsgemeenschappen atau bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat autonom akan diadakan badan perwakilan daerah oleh karena didaerahpun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
II. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat ą250 “Zelfbesturende landschappen” dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susun asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingat hak-hak asal-usul daerah tersebut.
BAB VII.
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT.
Pasal 12 19, 20, 21 dan 23.
Dewan ini harus memberi persetujuannya kepada tiap-tiap rancangan Undang-undang dari Pemerintah. Pun Dewan mempunyai hak inisiatif untuk menetapkan Undang-undang.
III. Dewan ini mempunyai juga hak begrooting pasal 23. Dengan ini, Dewan Perwakilan Rakyat mengontrol Pemerintah. Harus diperingati pula bahwa semua anggota Dewan ini merangkap menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pasal 22
Pasal ini mengenai “noodverordeningsrecht”, Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan Negara dapat dijamin oleh Pemerintah dalam keadaan yang genting yang memaksa Pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, Pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu Peraturan Pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan Undang-undang harus disyahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
BAB VIII.
HAL KEUANGAN.
Pasal 23
Ayat 1 memuat hak Begrooting Dewan Perwakilan Rakyat.
Ayat: 1, 2, 3, 4.
Cara menetapkan anggaran pendapatan dan belanja adalah suatu ukuran bagi sifat pemerintahan negara. Dalam negara yang berdasar fascisme, anggaran itu ditetapkan semata-mata oleh Pemerintah. Tetapi dalam negara demokrasi atau dalam negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat, seperti Republik Indonesia, anggaran pendapatan dan belanja itu ditetapkan dengan Undang-undang. Artinya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Betapa caranya Rakyat – sebagai bangsa-akan hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh Rakyat itu sendiri, dengan perantaraan Dewan Perwakilannya.
Rakyat menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga cara hidupnya.
Pasal 23 menyatakan, bahwa dalam hal menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat lebih kuat dari pada kedudukan Pemerintah. Ini tanda kedaulatan Rakyat.
Oleh karena penetapan belanja mengenai hak Rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada Rakyat, sebagai pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan Undang-undang, yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Juga tentang hal macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-undang. Ini penting karena kedudukan uang itu besar pengaruhnya atas masyarakat. Uang terutama ialah alat penukar dan pengukur harga. Sebagai alat penukar untuk memudahkan pertukaran – jual-beli dalam masyarakat. Berhubung dengan itu perlu ada macam dan rupa uang yang diperlukan oleh Rakyat. Sebagai pengukur harga untuk dasar menetapkan harga masing-masing barang yang dipertukarkan. Barang yang menjadi pengukur harga itu, mestilah tetap harganya jangan naik-turun karena keadaan uang yang tidak teratur. Oleh karena itu keadaan uang itu harus ditetapkan dengan Undang-undang.
Berhubung dengan itu kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas, ditetapkan dengan Undang-undang.
Ayat 5.
Cara Pemerintah mempergunakan uang belanja yang sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat harus sepadan dengan keputusan tersebut. Untuk memeriksa tanggung-jawab Pemerintah itu perlu ada suatu badan yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah. Suatu badan yang tunduk kepada Pemerintah tidak dapat melakukan kewajiban yang seberat itu. Sebaliknya badan itu bukanlah pula badan yang berdiri di atas Pemerintah. Sebab itu kekuasaan dan kewajiban badan itu ditetapkan dengan Undang-undang.
BAB IX.
KEKUASAAN KEHAKIMAN.
Pasal 24 dan 25
Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam Undang-undang tentang kedudukannya para hakim.
BAB X.
WARGA NEGARA.
Pasal 26
Ayat 1.
Orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, peranakan Tionghoa dan peranakan Arab, yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia, dapat menjadi warga-negara.
Ayat 2.
Telah jelas.
Pasal 27, 30, 31.
Pasal ini mengenai hak-haknya warga-negara.
Pasal 28, 29.
Pasal-pasal ini mengenai kedudukan penduduk.
Pasal-pasal, baik yang hanya mengenai warga-negara maupun yang mengenai seluruh penduduk memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangunkan negara yang bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan peri-kemanusiaan.
BAB XI.
AGAMA.
Pasal 29 ayat 1.
Ayat ini menyatakan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
BAB XII.
PERTAHANAN NEGARA.
Pasal 30
Telah jelas.
BAB XIII.
PENDIDIKAN.
Pasal 31 Ayat 2.
Telah jelas.
Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi-daya Rakyat Indonesia seluruhnya.
Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
BAB XIV.
KESEJAHTERAAN SOSIAL.
Pasal 33
Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi segala orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan orang seorang.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pasal 34
Telah cukup jelas, lihat di atas.
BAB XV.
BENDERA DAN BAHASA.
Pasal 35
Telah jelas.
Pasal 36
Telah jelas. Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, dsb.) bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara. Bahasa-bahasa itupun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.
BAB XVI.
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR.
Pasal 37
Telah jelas ” demikian kutipan Naskah Penjelasan UUD 1945 sebelum Amandemen.
(Redaksi)