527 views

Perdebatan Boleh Tidaknya Shalat Jum’at, Shalat Tarawih, Shalat Berjemaah, Serta Kegiatan Ibadah Islam Lainnya Ditengah Wabah Covid-19 Sudah Dijelaskan Pada FATWA MUI No 14 Tahun 2020

JAKARTA-LH: FATWA MUI (Majelis Ulama Indonesia) merupakan rujukan yang bersifat mengikat khususnya bagi Umat Islam Indonesia dalam menjalankan ibadahnya, menentukan halal atau haram, dan seterusnya terkait pelaksanaan ajaran Internal Umat Islam. Oleh karena itu, salah satu rujukan yang ideal untuk dijadtkan patokan terkait pelaksanaan Ibadah dan Ajaran Agama Islam di Indonesia adalah Fatwa MUI karena ini memang domainnya. Termasuklah dalam hal ini perdebatan boleh tidaknya Umat Islam Indonesia melakukan Shalat Berjamaah di Masjid, Shalat Jum’at, Shalat Tarawih Pada Bulan Ramdhan, dan Shalat Idul Fitri/Adha, serta kegiatan Agama Islam lainnya.

Perdebatan boleh tidaknya melakukan Ibadah-ibadah tersebut diatas, ditengan Wabah Pandemi Virus Corona (Covid-19) sudah diatur dengan tegas dan gamblang oleh MUI lewat FATWA Nomor 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah COVID-19. Fatwa ini sudah cukup representatiF untuk menjawab semua perdebtan itu, termasuklah perdebatan yang terjadi diberbagai daerah dan pelosok tanah air akhir-akhir ini seperti Bengkulu.

Pada KETENTUAN HUKUM Poin 3 Huruf (b) FATWA MUI No 14 Tahun 2020 tersebut menjelaskan bahwa “ Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya RENDAH berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang (ZONA HIJAU-Red) maka ia tetap WAJIB menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar virus corona. Seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun “ demikian kutipan dari Poin 3 Huruf (b) FATWA MUI No 14 Tahun 2020.

Kemudian, Pada Poin yang sama (Poinn 3) Huruf (a) mengamanahkan “Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya TINGGI atau SANGAT TINGGI (ZONA MERAH-Red) berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan shalat Jum’at dan menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu atau rawatib, tarawih, dan ied di masjid atau tempat umum lainnya “ demikian bunyi Poin 3 Huruf (a) nya.

Jadi, kalau kita telaah Poin 3 Huruf (b) dan Huruf (a) FATWA MUI No 14 Tahun 2020 tersebut jelas secara tegas dan gamblang mengatur tentang antara kapan dan situasi yang bagaimana yang dilarang dan atau kapan dan situasi yang bagaimana yang justru tetap diwajibka. Dilarang ketika daerah itu sudah kategori Zona Merah, dan masih tetap diwajibkan ketika daerah yang bersangkutan masih Zona Hijau.

Lebih jelasnya lagi bisa dilihat Pada Poin 4 dan Poin 5 Ketentuan Hukum FATWA MUI No 14 Tahun 2020 tersebut yang berbunyi:
“ 4. Dalam kondisi penyebaran Covid-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat masing-masing. Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran Covid-19, seperti jemaah shalat lima waktu atau rawatib, shalat tarawih, dan ied, (yang dilakukan) di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.

5. Dalam kondisi penyebaran Covid-19 terkendali, umat Islam wajib menyelenggarakan shalat Jumat “ begitu isi Poin 4 dan Poin 5.

Terkait bagaimana menentukan Jenis Zona suatu daerah, FATWA MUI ini juga menjelaskannya Pada Poin 3 Huruf (a) dan Huruf (b) yaitu “Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya RENDAH berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang…. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya TINGGI atau SANGAT TINGGI berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang…”. Artinya, yang menentukan RENDAH (Zona Hijau) dan TINGGI atau SANGAT TINGGI (Zona Merah) adalah Pihak Yang Berwenag dalam hal ini Pemerintah sesaui Poksi dan Jenjangnya.

Untuk lebih jelasnya, Redaksi LH kembali mengutip dan menyiarkan secara utuh FATWA MUI NO 14 TAHUN 2020 Tersebut seperti yang sudah pernah ditayangkan LH Pada 18/03/20 08:24 WIB dengan Judul “ HADAPI CORONA, MUI KELUARKAN FATWA NOMOR 14 TAHUN 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah COVID-19 “.

Berikut Isi Lengkap Fatwa Mui Nomor 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19:

” KETENTUAN HUKUM:

1. Setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang diyakini dapat menyebabkannya terpapar penyakit, karena hal itu merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama (al-Dharuriyat al-Khams).

2. Orang yang telah terpapar virus corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. Baginya shalat Jumat dapat diganti dengan shalat zuhur di tempat kediaman, karena shalat Jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal. Baginya haram melakukan aktivitas ibadah sunnah yang membuka peluang terjadinya penularan, seperti jemaah shalat lima waktu atau rawatib, shalat tarawih, dan ied, (yang dilakukan) di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar.

3. Orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar COVID-19, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu atau rawatib, tarawih, dan ied di masjid atau tempat umum lainnya.

b. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar virus corona. Seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun.

4. Dalam kondisi penyebaran Covid-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat masing-masing. Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran Covid-19, seperti jemaah shalat lima waktu atau rawatib, shalat tarawih, dan ied, (yang dilakukan) di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.

5. Dalam kondisi penyebaran Covid-19 terkendali, umat Islam wajib menyelenggarakan shalat Jumat.

6. Pemerintah menjadikan fatwa ini sebagai pedoman dalam upaya penanggulangan Covid-19 terkait dengan masalah keagamaan dan umat Islam wajib mentaatinya.

7. Pengurusan jenazah (tajhiz janazah) terpapar Covid-19, terutama dalam memandikan dan mengkafani harus dilakukan sesuai protokol medis dan dilakukan oleh pihak yang berwenang, dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat. Sedangkan untuk menshalatkan dan menguburkannya dilakukan sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar tidak terpapar Covid-19.

8. Umat Islam agar semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak ibadah, taubat, istighfar, dzikir, membaca Qunut Nazilah di setiap shalat fardhu, memperbanyak shalawat, memperbanyak sedekah, dan senantiasa berdoa kepada Allah SWT agar diberikan perlindungan dan keselamatan dari musibah dan marabahaya (doa daf’u al-bala’), khususnya dari wabah Covid-19.

9. Tindakan yang menimbulkan kepanikan dan atau menyebabkan kerugian publik, seperti memborong dan menimbun bahan kebutuhan pokok dan menimbun masker hukumnya haram.

REKOMENDASI:

1. Pemerintah wajib melakukan pembatasan super ketat terhadap keluar-masuknya orang dan barang ke dan dari Indonesia kecuali petugas medis dan import barang kebutuhan pokok serta keperluan emergency.

2. Umat Islam wajib mendukung dan mentaati kebijakan pemerintah yang melakukan isolasi dan pengobatan terhadap orang yang terpapar COVID-19, agar penyebaran virus tersebut dapat dicegah.

3. Masyarakat hendaknya proporsional dalam menyikapi penyebaran Covid-19 dan orang yang terpapar Covid-19 sesuai kaidah kesehatan. Oleh karena itu masyarakat diharapkan menerima kembali orang yang dinyatakan negatif dan/atau dinyatakan sembuh.

KETENTUAN PENUTUP:

1. Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, semua pihak dihimbau untuk menyebarluaskan fatwa ini.

Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal: 21 Rajab 1434 H/16 Maret 2020 M “

demikian Kutipan Utuh FATWA MUI Nomor 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19.   (TIM/REDAKSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.