556 views

PEMERINTAH DAN PIHAK TERKAIT LAINNYA SUDAH HARUS MELAKSANAKAN PERINTAH UU JPH SECARA TEGAS TANPA PANDANG BULU

JAKARTA-LH: Jaminan Produk Halal (JPH) merupakan amanah Konstitusi yang implementasinya dilaksanakan melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal yang ditandatangani dan disyahkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono serta diundangkan Pada Tanggal 17 Oktober 2014 di Jakarta oleh Menkumham Amir Syamsudin dengan Lembaran Negara Nomor 295. Sesuai perintah UU JPH tersebut bahwa terhitung sejak 17 Oktober 2019 Pemerintah RI dan Para Pihak Terkait Lainnya sudah harus melaksankan dan menerapkannya di seluruh Wilayah NKRI tanpa pandang bulu dan tanpa alasan apapun untuk menundanya.

Terhitung efektif bahwa sejak Tanggal 17 Oktober 2019, Pemerintah RI melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama akan melaksanakan JPH diseluruh Wilayah Indonesia. Salah satu persiapan untuk melaksanakan perintah UU JPH ini adalah pembentukan BPJPH di bawah Kementerian Agama RI. Badan ini telah resmi terbentuk Pada Tahun 2017 yang lalu.

Perangkat lain yang harus dipersiapkan sesuai perintah UU JPH adalah Lembaga Produk Halal (LPH). Untuk LPH-nya, BPJPH telah memilih dan menentapkan LPPMUI karena LPH yang ada saat ini adalah LPPOM-MUI. Pilihan Pelaku Usaha otomatis adalah LPPOM MUI baik yang ada di Pusat maupun yang ada di Propinsi. Selain alasan kelengkapan, LPPMUI merupakan LPH yang paling siap dan sudah berpengalaman. Hal ini ditegaskan oleh Kepala BPJPH Sukoso. “ Pemeriksaan kelengkapan Dokumen Permohonan itu akan dilakukan oleh BPJPH. Selanjutnya, Pelaku Usaha memilih Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) sesuai dengan pilihan yang sudah disediakan. Karena LPH saat ini ada LPPOM-MUI, pilihan Pelaku Usaha otomatis adalah LPPOM MUI Pusat dan Propinsi. Tahap selanjutnya, BPJPH melakukan verifikasi dokumen hasil pemeriksaan LPH. Hasil verifikasi BPJPH itu kemudian disampaikan kepada MUI untuk dilakukan penetapan kehalalan produk. Penetapan kehalalan produk dilaksanakan oleh MUI melalui sidang fatwa halal “ pungkas Sukoso (16/02/2020-Red).

Kepala BPJPH itu kemudian melanjutkan penjelasannya “ Berdasarkan Keputusan Penetapan Kehalalan Produk dari MUI itulah kemudian BPJPH menerbitkan sertifikat halal “ jelas Sukoso.

Ketika dipertanyakan mengenai Beban Biaya Penerbitan, Sukoso menjelaskan “ Terkait biaya, biaya penerbitan sertifikat halal dibebankan kepada pelaku usaha. Untuk besarannya, kami telah membahas bersama pelaku usaha, Majelis Ulama Indonesia, dan LPPOM MUI yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan “ tegasnya.

Selain telah terbentuknya BPJPH dan ditetapkannya LPPOM MUI Pusat dan Propinsi sebagai LPH, untuk persiapan Pelaksanaan UU JPH juga telah ditandatangani Memorandum of Understanding (MoU) oleh sebelas Pimpinan Kementerian/Lembaga Negara terkait dan MUI, yaitu Menteri Agama, Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian, Menteri Luar Negeri, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Menteri Keuangan, Menteri Komunikasi dan Informatika, Kapolri, Kepala BPOM, Kepala BSN, dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Seusai penandatanganan MoU, Menteri Agama pada saat itu Lukman Hakim Saifuddin menegaskan bahwa “ pemberlakukan kewajiban Sertifikasi Halal mulai 17 Oktober 2019 dilakukan secara bertahap. Tahap pertama, kewajiban ini akan diberlakukan terlebih dahulu kepada Produk Makanan dan Minuman, serta Produk Jasa Yang Terkait Dengan Keduanya. Prosesnya akan berlangsung dari 17 Oktober 2019 sampai 17 Oktober 2024 ” tegas Lukman Hakim (16/10/2019-Red).

Lukman Hakim Saifuddin kemudianmelanjutkan “ Tahap kedua, barulah kewajiban sertifikasi akan diberlakukan untuk Selain Produk Makanan dan Minuman. Tahap kedua ini dimulai 17 Oktober 2021 dalam rentang waktu yang berbeda. Ada yang 7 Tahun, 10 Tahun, Ada Juga 15 Tahun. Perbedaan Rentang Waktu ini tergantung dari kompleksitas produk masing-masing “ lanjut Menag saat itu.

“ Namun perlu kami tegaskan bahwa penahapan produk seperti kami sampaikan tersebut tidak berlaku bagi produk yang kewajiban kehalalannya sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, dan produk sudah bersertifikat halal sebelum UU JPH berlaku”, tegas Lukman Hakim Saifuddin saat itu.

Perangkat lain sesuai Perintah UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH) adalah Tentang Peraturan Pelaksanya. Maka Pada Tanggal 29 April 2019, Presiden RI Joko Widodo di Jakarta telah Menandatangani sekaligus Menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. PP Nomor 31 Tahun 2019 ini kemudian diundangkan di Jakarta Pada Tanggal 3 Mei 2019 oleh Menkumham Yasonna H. Laoly Dengan Lembaran Negara RI Tahun 2019 Nomor 88.

Dengan demikian, lengkaplah sudah Perangkat Pelaksana UU JPH sesuai Perintah UU tersebut. Untuk itu, tidak ada alasan lagi oleh Siapapun dan Pihak Manapun Khususnya Pemerinta dan MUI untuk tidak melaksanakan Jaminan Produk Halal di Wilayah Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hal ini sekaligus menjawab tentang masih banyaknya Para Pihak Pengusaha di berbagai Penjuru Tanah Air yang belum mau melaksanakan UU JPH ini dengan alasan belum ada perangkat dan regulasi teknis-nya. Bahkan LH menemukan Seorang Pimpinan Management Sebuah Perusahaan Supermarket di Wilayah Hukum Propinsi Sumatera Utara yang mengatakan bahwa UU JPH ini belum bisa diterapkan karena belum ada perangkatnya dan melihat bahwa UU JPH itu secara baku. “ Perangkat semua juga belum ada. Dan d batasi Pihak Mana yang mengontrol. Kalau kita hanya melihat secara baku UU itu “ pungkas Manager salah satu Supermarket yang mempunyai banyak Cabang di Sumatera Utara itu melalui WhatsApp-nya (Jum’at, Pukul 12.23 WIB; 28/02/2020-Red).

Yang lebih naïf lagi adalah ketika Seorang Pejabat di Balai Besar POM Medan mengaku belum mengetahui bahwa PP 31 Tahun 2019 telah terbit. Sehingga yang bersangkutan diduga salah dalam menjawab serta menjelaskan tentang JPH kepada warga masyarakat yangmembutuhkan informasi seputar UU JPH ini yang seyogyanya sudah resmi dan efektif diberlakukan di Indonesia sejak 17 Oktober 2019 yang lalu. “ Banyak memang yang bertanya tentang ini, ada yang dari Rantauprapat, ada juga Anggota DPRD, dan banyaklah. Namun karena belum ada Peraturan Pelaksananya apakah Perpres atau PP maka kita pun belum berani menerapkannya termasuklah belum ada Perintah dari Kepala Balai POM Medan maka kita pun belum berani menjawabnya secara resmi Pak “ ujar Oknum Pejabat Balai Besar POM Medan tersebut ketika dihubungi melalui Telepon selularnya (Jum’at, 28/02/2020-Red).

Ketika dipancing LH dengan pertanyaan Bagaimana dengan PP 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal ? Oknum Pejabat POM Medan tersebut menanggapinya dengan nada kaget “ Oh udah keluarnya Petunjuknya? Berarti udah bisa dijalankan. Banyak lah nanti yang kena regulasi ini. Kalau udah ada regulasi ini, berarti semua sudah bisalah ditindak. Karena kelanjutannya kan penindakan. Kalau begitu, jam 10 nanti saya mau menghadap ke Bos (Pimpinan-Red) untuk melapor tentang regulasi ini biar dibahas nanti khususnya dengan Bagian Pengawasan. Memang kemarin Kepala Bidang Saya ada menyinggung tentang ini, tentang penerapannya. Tapi untuk operasionalnya, kami memang harus menunggu keputusan Pimpinan. Baisanya nanti turunnya itu Petunjuk Teknisnya dari Kepala Balai POM “ ujar Oknum Pejabat POM Medan itu.

Hal-hal lain yang masih diperdebatkan sebagai dalih untuk menghindar dari Regulasi ini khususnya oleh Pihak Pelaku Usaha adalah tentang Produk Berlabel Halal dan Pruduk yang belum Berlabel. Kalau untuk yang berlabel Non Halal umumnya Para Pelaku Usaha susah memperdebatkannya.

Contoh Kasus, Salah satu Pelaku Usaha Supermarket yang keberatan ketika disidak oleh Instansi Yang Berwenang untuk itu beberapa Pertengahan Bulan ini, yang mempersoalkan tentang larangan menyatukan Produk Berlabel Halal dengan Produk Tidak Berlabel. Pihak Management Perusahaan ini keberatan ketika Pihak Berwenang yang melakukan Sidak pada saat itu melarang mereka meyatukan Produk Makanan dan Minuman Berlabel Halal dengan Produk Makanan dan Minuman Yang Tidak mempunyai Label apapun (Tidak ada Label Halal maupun Label Non Halal-nya. Lagi-lagi alasan Pihak Management Perusahaan ini belum ada regulasi yang mengaturnya.

Padahal, terkait Pertanyaan dan Keberatan dari Pihak Management Supermarket ini sudah dijawab oleh Pasal 43 PP No 31 Tahun 2019 yang berbunyi sebagai berikut;

“ Pasal 43
(1) Lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dipisahkan dengan lokasi, tempat, dan alat proses Produk tidak
halal.
(2) Lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. dijaga kebersihan dan higienitasnya;
b. bebas dari najis; dan
c. bebas dari Bahan tidak halal.
(3) Lokasi yang wajib dipisahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni lokasi penyembelihan.
(4) Tempat dan alat PPH yang wajib dipisahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tempat
dan alat:
a. penyembelihan;
b. pengolahan;
c. penyimpanan;
d. pengemasan;
e. pendistribusian;
f. penjualan; dan
g. penyajian. “ demikian bunyi kutipan Pasal 43 PP No 31 Tahun 2019 tersebut yang secara jelas dan tegas mengatur kewajiban untuk memisahkan penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan; dan penyajian PPH (Proses Produk Halal).

Apakah dengan jawaban Pasal 43 PP No 31 Tahun 2019 Tersebut lantas Pihak Managemen Perusahaan Supermarket tadi puas ? Ternyata belum. Yang bersangkutan masih memperdebatkan larangan pemajangan ditempat yang sama antara Produk yang Berlabel Halal dan Produk Yang Tidak Berlabel. Untuk larangan Produk Berlabel Halal dan Non Halal mereka setuju dan sudah dijalankan perusahaan itu.

Untuk menjawab perdebatan ini, UU JPH (UU No 33 Tahun 2014) Pada Pasal 4 memerintahkan bahwa “ Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Wilayah Indonesia Wajib Bersertifikat Halal “ demikian bunyi Pasal 4 tersebut yang berarti bahwa Produk yang tidak bersertifikat halal dilarang beredar dan diperdagangkan di Indonesia. Kendatipun, didalam UU JPH itu diatur juga tentang Produk yang haram menurut syariat Islam dengan Label Non Halal.

Undang-Undang JPH inii mengatur Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha dengan memberikan pengecualian terhadap Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan dengan kewajiban mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada kemasan Produk atau pada bagian tertentu dari Produk yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Produk.

Dari Pasal dan Penjelasan UU JPH dan PP Pelaksanya jelas memerintahkan bahwa Produk Makanan dan Minuman yang boleh masuk, beredar dan diperdagangkan di Indonesia adalah yang sudah Berlabel Halal. Untuk makanan dan minuman yang diharamkan dalam syariat Islam wajib di tulis label Non Halal serta pemajangan dan penempatannya harus dipisahkan dengan Produk Makanan dan Minuman Yang Berlabel Halal. Sementara untuk yang tidak ada Label-nya otomatis secara logika hukum dapat dikategorikan Illegal. Illegal karena dilarang oleh Pasal 4 UU No 33 Tahun 2014 itu.

Pertanyaan mendasar lainnya adalah apakah Produk Impor yang sudah ada Label Halalnya dari Negara Eksportir yang bersangkutan berlaku di Indonesia secara otomatis dan ataukah masih harus dikeluarkan lagi Label Halalnya oleh Institusi yang berwenang untuk itu dalam hal ini LPPMUI ? Jawaban atas pertanyaan ini ada Pada Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 48 UU JPH:

“ Pasal 46
1. Pemerintah dapat melakukan kerja sama internasional dalam bidang JPH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. Kerja sama internasional dalam bidang JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk pengembangan JPH, penilaian kesesuaian, dan/atau pengakuan Sertifikat Halal;
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 47
1. Produk Halal luar negeri yang diimpor ke Indonesia berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
2. Produk Halal, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak perlu diajukan permohonan Sertifikat Halalnya sepanjang Sertifikat Halal diterbitkan oleh lembaga halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama saling pengakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2).
3. Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diregistrasi oleh BPJPH sebelum Produk diedarkan di Indonesia.
4. Ketentuan mengenai tata cara registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
1. Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa penarikan barang dari peredaran.
2. Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri “.

Lagi-lagi, sangat disayangkan ketika terjadi Peristiwa Inspeksi Mendadak (Sidak) yang dilakukan oleh Pihak Yang Berwenang, dalam hal ini  Gabungan Komisi II DPRD Salah Satu Kabupaten, bahkan turut turun langsung  Wakil Ketua DPRD-nya, Kepala Dinas Perindag, dan Dari Dinas Kesehatan Pemda yang bersangkutan ke salah satu Supermarket Terbesar di Ibu Kota Kabupaten itu. Saat dan setelahSidak itu telah terjadi statement yang dilakukan oleh Oknum Pejabat yang ikut turun untuk Sidak bahwa ” Produk Impor yang berlabel halal dari Negara Asalnya (Negara Eksportir) tidak berlaku di Indonseia. Artinya, Oknum Yang  Bersangkutan menambahkan  bahwa yang berlaku di Indonesia hanyalah Label Halal dari MUI “. Padahal hal ini sudah dijelaskan Pada Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 48 UU JPH dimana keterangan Oknum Pejabat Teras itu tidak benar adanya bahkan bertentangan dengan Perintah UU JPH. Ini suatu bukti bahwa masih banyak Oknum Pejabat yang Tidak Profesional dan Tidak Proforsional. Statemeny Oknum Pejabat ini telah menyebar luas baik melalui Media Massa maupun Melalui Media Sosial. Statement ini tentunya sangat disayangkan karena bisa menyesatkan Masyarakat luas. Sayangnya, ketika Redaksi LH hendak mengkonfirmasi dan atau Mengklarifikasi Oknum Pejabat Kabupaten ini melalui Phonsel-nya yang bersangkutan tidak mau meresponnya.

Terkait Produk Impor yang sudah Berlabel Halal dari Negara Asalnya ini, menurut Sekretaris Umum MUI Sumatera Utara Dr. H. Ardiansyah, Lc, MA mengatakan “ LPPOM MUI mengakui 60 lembaga halal dari berbagai Negara termasuk Jabatan Kemajuan Islam Malasya (JAKIM) Malasya. Jadi kalau sudah ada Label Halalnya dari salah satu Daftar 60 Negara Eksportir yang sudah diakui MUI ya syah-syah saja dan gak perlu dibuat baru lagi “ tegas Dr. H. Ardiansyah, Lc, MA di Ruang Kerjanya Kantor MUI Sumut Jl. Dr. Sutomo Ujung No. 3, Medan (Selasa, 25/02/2020-Red).

Mengingat Pelaksanaan UU JPH ini bukanlah pekerjaan yang mudah, maka Peran Serta Masyarakat juga sangat dibutuhkan. Terkait Peran Serta Masyarakat diatur dalam Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 UU JPH.

“ Pasal 53;
1. Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan JPH.
2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. melakukan sosialisasi mengenai JPH; dan
b. mengawasi Produk dan Produk Halal yang beredar.
3. Peran serta masyarakat berupa pengawasan Produk dan Produk Halal yang beredar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berbentuk pengaduan atau pelaporan ke BPJPH.
Pasal 54;
BPJPH dapat memberikan penghargaan kepada masyarakat yang berperan serta dalam penyelenggaraan JPH.
Pasal 55;
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan diatur dalam Peraturan Menteri. “

Untuk menjamin penegakan hukum terhadap pelanggaran Undang-Undang ini, ditetapkan Sanksi Administratif dan Sanksi Pidana. Ketentuan Pidananya diatur Pada Pasal 56 dan 57 UU JPH.

” Pasal 56;
Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (Dua Miliar Rupiah).
Pasal 57;
Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses JPH yang tidak menjaga kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (Dua Miliar Rupiah) “.

MENGAPA UU JPH INI PERLU DAN HARUS DILAKSANAKAN DI INDONESIA ?

Pertama, Untuk melindungi Hak Konstitusional Warga Negara Sesuai Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), Pasal 28J, dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Kedua, bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu; Ketiga, bahwa untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat; Keempat, bahwa produk yang beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya;Kelima, bahwa pengaturan mengenai kehalalan suatu produk pada saat ini belum menjamin kepastian hukum dan perlu diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan; dan Keenam, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut (Pertama – Keenam) maka perlu membentuk Undang-Undang Tentang Jaminan Produk Halal. (TIM/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.