JAKARTA-LH: Setelah Praperadilan dimenangkan Setya Novanto di PN jakarta Selatan (29/09/2017-Red) yang lalu maka secara otomatis status Tersangka yang disandang Ketua DPR-RI ini pada waktu itu gugur karena dinyatakan tidak sah oleh Hakim Cepi Iskandar. Putusan dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan “Menyatakan penetapan pemohon Setya Novanto sebagai tersangka dinyatakan tidak sah,” ujar hakim Cepi kala itu (29/09/2017; Pukul 17.30 WIB-Red).
Satu bulan lebih kemudian, tepatnya pada hari Selasa (31/10/2017-Red) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan Setya Novanto sebagai Tersangka dalam kasus E-KTP. Penetapan ini terkonfirmasi dalam Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang beredar di kalangan wartawan. Seorang pejabat di KPK membenarkan soal surat ini.
“Dengan ini diberitahukan bahwa pada hari Selasa, tanggal 31 Oktober, telah dimulai penyidikan perkara tindak pidana korupsi dalam pengadaan paket penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP elektronik) tahun 2011 sampai dengan 2012 pada Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia yang diduga dilakukan oleh Setya Novanto,” demikian penggalan SPDP yang beredar pada hari Senin (06/11/2017-Red).
Ketika hal ini dikonfirmasi kepada Pihak DPP Golkar, melalui Sekjendnya Idrus Marham mengatakan belum mengetahui kabar ini. “Saya nggak bisa menanggapi kalau saya belum tahu. Saya ndak bisa. Saya ndak menanggapi, saya ndak memahami itu, tetapi kalau ada proses-proses seperti itu, kita hargai proses itu, tapi saya belum tahu sampai sekarang,” ujar Idrus di DPR, Senin (06/11/2017-Red).
Senada dengan Idrus Marham, Pengacara Novanto, Fredrich Yunadi, juga mengaku belum tahu soal penetapan kembali kliennya menjadi tersangka di KPK. Fredrich mengaku belum menerima surat dari KPK. “Saya tidak tahu-menahu karena kita tidak terima. Kalau kita terima pun masak kita edarkan ke wartawan, kan nggak make sense. Berarti ini kan permainan oknum KPK sendiri, yang sengaja membikin isu bikin heboh masyarakat, kan mereka selalu ingin jadi pemain sinetron,” kata Fredrich (06/11/2017-Red).
Terkait dengan statusnya sebgai tersangka, Setnov kembali mangkir dari panggilan KPK. Alasannya adalah bahwa untuk memanggilnya KPK harus mengantongi lebih dulu izin dari Presiden Jokowi. “Pagi ini sekitar pukul 08.00 WIB bagian persuratan KPK menerima surat dari Setjen dan Badan Keahlian DPR RI terkait dengan pemanggilan Ketua DPR-RI, Setya Novanto sebagai saksi untuk tersangka ASS (Anang Sugiana Sudihardjo) dalam kasus E-KTP,” kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan (06/11/2017-Red).
Menurut Febri surat itu tertanggal hari ini dan ditandatangani oleh Pelaksana tugas (Plt) Sekretaris Jenderal DPR RI Damayanti. Febri menyebut ada 5 poin alasan Novanto tak memenuhi panggilan KPK, termasuk agar KPK meminta izin ke Presiden Jokowi bila ingin memanggilnya. “Menyampaikan 5 poin yang pada pokoknya menyatakan Setya Novanto tidak dapat memenuhi panggilan KPK sebagai saksi karena menurut surat tersebut panggilan terhadap Setya Novanto harus dengan izin tertulis dari Presiden RI,” pungkas Febri.
Sementara, panggilan KPK kepada Setnov sebagai saksi dalam sidang lanjutan perkara korupsi e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dihadiri oleh Ketua DPR-RI itu (03/11/2017-Red). Tapi, kenapa dalam hal proses penyidikan Setnov selalu mangkal. Padahal, dalam aturan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) tak ada larangan penegak hukum memanggil anggota DPR dalam pidana khusus. Selama ini sejumlah anggota DPR yang dipanggil KPK juga hadir jika tak ada halangan dan tanpa Izin dari Presiden.
Menanggapi mangkirnya Setya Novanto dari panggilan pemeriksaan KPK dengan alasan harus ada Izin dari Presiden, KPK melalui Jurubicaranya yang juga sebagai Kabiro Humas Febri Diansyah mengatakan “”Bagi KPK sebenarnya pelaksanaan tugas yang kita lakukan sebaiknya tetap diletakkan di koridor hukum, dan Presiden saya kira punya tugas yang jauh lebih besar. Jadi jangan sampai kemudian ketika itu tidak diatur Presiden juga ditarik-tarik pada persoalan ini,” ujar Febri di Kantor KPK (06/11/2017-Red).
Polemik tentang pemanggilan anggota DPR atas izin Presiden sebenarnya telah muncul pada tahun 2015. Saat itu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah izin pemeriksaan anggota MPR, DPR dan DPD dari Majelis Kehormatan Dewan (MKD) ke tangan Presiden. Namun tidak semua kejahatan yang disidik harus mendapat restu Presiden terlebih dahulu.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan Pasal 245 ayat 1 UU nomor 17 tahun 2014 tidak berlaku sepanjang tidak dimaknai: ” Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden”
Namun Pasal 245 ayat 3 belum diubah oleh MK. Pasal tersebut berbunyi:
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku apabila anggota DPR
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.
Alhasil, penyidik tidak perlu meminta izin presiden apabila ingin memeriksa para anggota DPR, MPR dan DPD sepanjang memenuhi syarat Pasal 245 ayat 3 tersebut. Kejahatan tersebut seperti:
1. Terkena operasi tangkap tangan KPK
2. Diduga melakukan kejahatan dengan ancaman hukuman seumur hidup atau mati seperti pembunuhan, kejahatan HAM,
3. Pidana khusus seperti:
Tindak Pidana Korupsi Tindak Pidana Pencucian Uang
Tindak Pidana Narkotika Narkotika
Tindak Pidana Pembalakan Hutan secara Liar (Illegal Logging).
Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
Tindak Pidana di Bidang Perikanan (Illegal Fishing).
Tindak Pidana di Bidang Perbankan.
Tindak Pidana di Bidang Pasar ModaL
Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup.
Tindak Pidana di Bidang Pelayaran.
Tindak Pidana Perdagangan Orang.Tindak Pidana di Bidang HAKI.
Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan.
Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan.
Tindak Pidana Pemilu.
Tindak Pidana Terorisme.
Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropik
Tindak Pidana yang Terkait dengan Konsumen.
Tindak Pidana Penambangan Liar (Illegal Mining).
Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime). (Fahdi R/Red)