JAKARTA-LH: Wacana menggeser ibu kota negara ke daerah kembali mencuat. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro menuturkan kajian mengenai pemindahan itu telah dimulai. Ia menilai langkah pemindahan ibu kota supaya terjadi pemerataan ekonomi ke luar Pulau Jawa.
Menurut Bambang, pemindahan yang dilakukan hanya sebatas pada administrasi pemerintahan semata. Jakarta, kata dia, akan tetap menjadi kota bisnis. Bappenas pun ingin membangun ibu kota dari nol, tidak mengubah kota yang sudah ada. Targetnya, kajian Bappenas rampung pada 2019.
Pemindahan ibu kota negara pernah disebut dua kali oleh Presiden pertama RI, Sukarno. Pertama saat meresmikan Palangka Raya sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah pada 1957. Saat itu, Bung Karno ingin merancangnya menjadi ibu kota negara. Hal itu menurut Bung Karno sudah tertuang dalam master plan yang ia buat sendiri dalam pembangunan kota tersebut pada masa kemerdekaan.
Kedua dengan gaya retorikanya Bung Karno kembali menyebut Palangka Raya sebagai calon ibukota negara pada Seminar TNI-AD I di Bandung pada 1965.
“Mari kita jadikan Jakarta dan Surabaya sebagai kota-kota mati. Kedua kota besar itu bagi saudara-saudara kita di luar Jawa ibaratnya sudah menjadi Singapura dan Hong Kong-nya Indonesia. Modal hanya berpusat di kedua kota besar itu, dan seolah-olah mengeksploitir daerah-daerah di luar Jawa.”
Pemindahan ibu kota kembali ramai era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Oktober 2010 silam. Waktu itu SBY menawarkan tiga opsi untuk mengatasi kemacetan di Ibu Kota Jakarta. Pertama, mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota maupun pusat pemerintahan dengan pembenahan total.
Kedua, Jakarta tetap menjadi ibu kota, tetapi pusat pemerintahan dipindahkan ke daerah lain. Presiden waktu itu mencontohkan Malaysia, yang beribu kota di Kuala Lumpur tapi pusat pemerintahannya di Putra Jaya. Terakhir, dibangun ibu kota baru, seperti Canberra (Australia) dan Ankara (Turki).
Opsi itu muncul kembali setelah Jakarta dilanda banjir besar pada 2013. “Presiden tak tabu membicarakan pemindahan ibu kota,” kata Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai.
Alasan dibutuhkannya pemindahan ibu kota, salah satunya adalah adanya prediksi dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yang memprediksi Jakarta tenggelam pada 2030 apabila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak memperhatikan keseimbangan ekologis.
Menurut Bappenas banyaknya orang bekerja di Jakarta yang mereka tinggal di pinggiran Jabotabek, akan mengakibatkan pemborosan bahan bakar minyak (BBM). Setidaknya 6,5 miliar liter BBM senilai sekitar Rp 30 triliun yang dihabiskan oleh 2 juta pelaju ke Jakarta setiap tahun.
Masih menurut Bappenas sampai 2010 sekitar 30 juta dari 200 juta penduduk Indonesia menempati area 1500 kilometer persegi di Jabodetabek. Atau 15 persen penduduk menempati kurang dari 1 persen wilayah Indonesia.
Sedangkan pemilihan Kota Palangka Raya sudah memenuhi beberapa syarat. Seperti menurut Bappenas, Palangka Raya tidak memiliki gunung berapi dan lautan lepas sehingga aman dari ancaman gempa bumi.
Peta Gempa 2010, Kalimantan termasuk wilayah yang paling aman dari zona gempa. Pembangunan jalur kereta api, jalan raya lintas Kalimantan yang akan berdampak bagi kemajuan dan pertumbuhan ekonomi di pulau tersebut. Apalagi letak geografis Palangka Raya tepat di tengah wilayah Indonesia.
Berapa biaya yang harus dikeluarkan pemerintah bila jadi memindahkan ibu kota? Ketua Tim Visi Indonesia 2033 Andrianof A. Chaniago pada 2015 lalu pernah mengatakan biaya pemindahan ibu kota sekitar Rp 50 triliun – Rp 100 triliun bisa dikucurkan secara multy years (tahun jamak) dalam jangka 10 tahun atau sebesar Rp 5 triliun – Rp 10 triliun per tahun.
Pemerintah tidak akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk merealisasikan rencana pemindahan ibu kota ke luar Pulau Jawa. “Presiden mengingatkan tidak boleh memberatkan APBN,”ucap Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro di kantornya, Selasa (11/04/2017-Red).
Bambang mengatakan kajian Bappenas adalah mencari skema pembiayaan yang kreatif. Artinya yang melibatkan private sector sehingga pemerintah bisa membangun infrastruktur dengan dukungan sektor swasta juga.
Kemungkinan pemerintah sebelumnya enggan memindahkan ibu kota lantaran terlalu memberatkan APBN. “Mungkin sebelum-sebelumnya karena berpikir menggunakan APBN, ya tidak akan cukup, sehingga itu yang membuat jadi berhenti,” kata Bambang.
Bambang menjelaskan dirinya akan mengkaji dan mempersiapkan desain skema pembiayaan yang intinya adalah public partnership atau kerja sama pemerintah dan swasta. Bappenas akan melibatkan semua kementerian/lembaga terkait danĀ Bappenas sebagai koordinatornya. “Kita kan sifatnya lintas bidang, bisa melibatkan PU dan Kementerian Perhubungan. Misalnya membangun bandara yang seperti apa karena harus tetap terkoneksi dengan mudah ke Jakarta sebagai bandara utama di Indonesia.” ungkap Bambang.
Bambang menambahkan pemindahan ibu kota memang perlu dilakukan dengan melihat daya dukung Jakarta yang makin berat. “Kita lihat kemacetan, kita lihat penurunan permukaan tanah yang semakin parah. Maka perlu ada upaya untuk memecah konsentrasi pembangunan wilayah,” ucapnya.
Menurut Bambang, untuk memindahkan pusat keuangan atau pusat bisnis tidak mungkin melakukan sesuatu yang di luar kehendak market. “Jadi kita hanya bisa melakukan apa yang bisa kita kontrol, artinya yang bisa dikontrol adalah pusat pemerintahan.” Pungkas Bambang. (Rz/Red)