629 views

BUMDes Tanjung Sarang Elang Mati Suri Berpotensi Rugikan Keuangan Negara

LABUHANBATU-LH : Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Desa Tanjung Sarang Elang di Bidang Grosir Sembako hanya berjalan Enam Bulan setelah itu kemudian vakum. BUMDes ini beralamat di Desa Tanjung Sarang Elang tepatnya di Pasar Batu Kecamatan Panai Hulu, Kabupaten Labuhanbatu.

Sesuai hasil pantauan LH (Jum’at, 08/05/2020-Red), bahwa BUMDes yang telah mendapat kucuran dana sebesar Rp 260.000.000,00 ternyata hanya beroperasi selama enam bulan. Tidak ada satu orangpun yang dapat dikonfirmasi di TKP baik itu Ketua, Sekretaris, Bendahara maupun Staf lainnya tidak ada ditempat.

Penasaran dengan kondisi BUMDes ini, akhirnya LH mencoba melakukan konfirmasi atau klarifikasi kepada Kepala Desa Tanjung Sarang Elang di Kantornya (Jum’at, 08/05/2020-Red) namun sayangnya Sang Kades tidak berada ditempat. Hanya ada dua orang di Kantor Desa tersebut yaitu Sekdes Eka Suhaida dan Kaur.

Ketika hal ini dikonfirmasi kepada Sekdes Eka Suhaida yang bersangkutan menyampaikan bahwa “ BUMDes Tanjung Sarang Elang vakum akibat merugi tahun dana yang dianggarkan ke BUMDes ntah Tahun 2017 ntah Tahun 2018 lupa Saya tahunnya. Tapi cobalah tanya Kepala Desa, Beliau lebih tau soal itu. Karena SPJ nya sudah di serahkan ke Kepala Desa, Ketua BUMDes nya bernama Budi cuman nama lengkapnya saya tidak tahu, “ Pungkas Eka (Jumat, 08/05/2020-Red).

Saat hal ini dikonfirmasi kepada Kepala Desa melalui WhatsApp nya Sekitar Pukul 14.00 WIB (Jum’at, 08/05/2020-Red) tampak ceklis dua dan tanda biru namun sampai berita ini ditayangkan tidak ada tanggapan dari yang bersangkutan.

Mengapa banyak BUMDes yang vakum ? Untuk menjawab pertanyaan ini tentunnya banyak hal yang harus diselidiki. Pertama, apa dasar dan tujuan dari para pendiri BUMDes itu sendiri; Kedua, apakah syarat materiil dan formil pendirian BUMDes sudah dipenuhi; Ketiga, apakah management (Direktur, Bendahara, Sekretaris, dan Pengurus lainnya) merupakan orang yang Profesional dan Proporsional ataukah hanya Boneka dari Penguasa Pemerintahan Desa yang bersangkutan; Keempat, apakah jenis barang dan jasa yang ditawarkan oleh usaha BUMDes tersebut tepat guna, tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan lingkungan ekonomi desa yang bersangkutan; Kelima, faktor-faktor lainnya terutama seringnya terjadi penyalahgunaan wewenang oleh oknum Pejabat Tertinggi di Pemerintahan Desa yang berwewenang penuh atas BUMDes tersebut.

Sesuai Amanah UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa, bahwa Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) merupakan Usaha Desa yang dikelola oleh Pemerintah Desa. Pemerintah Desa dapat mendirikan Bumdes sesuai dengan kebutuhan dan Potensi Desa. Pembentukan Badan Usaha Milik Desa ditetapkan dengan Peraturan Desa. Kepengurusan Badan Usaha Milik Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Masyarakat Desa Setempat. Karena Perdes itu merupakan Perintah UU, maka Pembentukan dan Operasionalisasi Bumdes Tanpa Perdes dapat diduga dan atau dikategorikan Ilegal. Hal ini diatur Pasal 88UU No 6 Tahun 2014.

” Pasal88;
(1) Pendirian BUM Desa disepakati melalui Musyawarah Desa.

(2) Pendirian BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Desa “ demikian perintah Pasal 88 tersebut.

Sebenarnya, apabila BUMDes dijalankan sesuai dengan Amanah UU No 6 Tahun 2014 tersebut maka persoalan-persoalan teknis yang dapat merugikan dan atau bahkan membangkrutkan BUMDes tidak perlu terjadi. Para Pendiri dan Pihak Management BUMDes cukup mengikuti Aturan yang sudah ada maka tujuan BUMdes sebagai salah satu Usaha di Desa yaitu menambah penghasilan asli Desa akan terealisasi namun sebaliknya apabila dilakukan bertentangan dengan Aturan yang sudah ada apatah lagi ada unsur kesengajaan untuk memanfaatkan Dana BUMDes untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok maka yang terjadi adalah BUMDes tidak berkembang bahkan bangrut, tujuan untuk mendapatkan Penghasilan Asli Desa (PADes) tidak akan tercapai, dan sudah pasti Uang Negara lenyap. Bila yang terakhir ini yang terjadi, Uang Negara menjadi hilang maka secara hukum hal ini dapat dikategorikan Korupsi. Sehingga peerapan Undang-Undang Tidak Pidana Korupsi terhadap Kasus sejenis ini dapat diterapkan.

Berdasarkan Pasal 72 Ayat (1) Huruf b UU No 6 Tahun 2014 dapat disimpulkan bahwa salah satu sumber Anggaran dan Pendapat Desa adalah APBN/APBD. Sumber Pendapatan tersebut tentunya juga dapat disalurkan dan digunakan sebagai Modal untuk BUMDes. Nah, kalau sampai terjadi Penyalahgunaan Dana itu berarti sama saja terjadi penyalahgunaan Anggaran Negara baik yang berasal dari APBN maupun APBD. Bagi Oknum Pelakunya, selain dapat dijerat dengan Pasal 374 KUHP tentang Penyalahgunaan Wewenang dalam Jabatan tentunya juga dapat dijerat dengan Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, siapa yang berkewajiban apabila ada Oknum Pemerintahan Desa yang melakukan penyelewangan atas Tugas, Hak, Kewajiban, dan Wewenangnya itu ? Secara Hukum Pidana tentunya adalah seluruh Aparat Penegak Hukum (APH) yang berkompeten serta berwenang untuk itu wajib bertanggung jawab sesuai foksinya.

Secara Hukum Administrasi, Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota punya kewajiban melakukan bimbingan, arahan, dan tentunya Sanksi Administratif kepada Oknum Pemerintahan Desa yang melakukan pelanggaran Peratuan Perundang-undangan. Hal ini bisa dilihat salah satunya Pada BAB XIV (Pasal 112 – Pasal 115) UU No 6 Tahun 2014.

Menurut hasil Investigasi NGO Indonesia Law Enforcement (ILE) terhadap fenomena maraknya BUMDes yang bermasalah, lebih dikarenakan banyaknya faktor kepentingan pribadi khususnya oleh Kepala Desa sebagai Penanggung Jawab Tertinggi dan atau sekaligus Pemilik Kewenangan Tertinggi atas BUMDes dan Pemerintahan Desa. Bahkan ada seorang Oknum Kepala Desa di salah satu Desa di Kabupaten Labuhanbatu Utara Propinsi Sumatera Utara yang berani membuat statement “ Kades/Aparat Desa yang terlanjur menyalahgunakan Uang Desa yang berasal dari Uang Negara tidak perlu dipenjara apabila jumlah uang yang disalahgunakan tersebut tidak lebih dari Rp 150.000.000,00 serta yang bersangkutan sanggup mengembalikan “ pungkas Sang Kades ‘Jagoan’ tersebut sebagaimana disampaikan oleh Aktivis NGO ILE Sumatera Utara Bambang, SE kepada LH (Sabtu, 09/05/2020-Red).

Statement Oknum Kades “ Jagoan ” tersebut sebagaimana disampaikan Bambang, SE tentunya menjadi Preseden Buruk bagi Penegakan Hukum di Indonesia khususnya terkait Penyalahgunaan Uang Negara yang disalurkan ke Pemerintahan Desa di seluruh Indonesia yang jumlahnya sangat Fantastis. Jika dianalogikan sesuai Data Tahun 2018 bahwa Jumlah Desa di Indonesia sebanyak 75.436 desa (74.517 desa dan 919 Nagari di Sumatera Barat), kemudian 8.444 kelurahan serta 51 Unit Permukiman Transmigrasi (UPT)/Satuan Permukiman Transmigrasi (SPT), jika masing-masing Desa/Kelurahan/Nagari mendapat bantuan APBN Rp 1 Milyar Per Tahun maka Total APBN yang harus dikucurkan setiap tahunnya adalah RP 84.850.000.000.000,00 (Delapan Puluh Empat Triliun Delapan Ratus Lima Puluh Milyar Rupiah).

Jika 10 % saja Dana tersebut bocor karena disalahgunakan (dikorupsi) maka kerugian Negara sudah mencapai Rp 8.485.000.000.000,00 (Delapan Triliyun Empat Ratus Delapan Puluh Lima Milyar Rupiah). Fantastis bukan ???. (Edy Syahputra Ritonga/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.