JAKARTA-LH: Berbagai Pihak khususnya Para Pegiat Anti Korupsi meminta agar Hakim PN Jakarta Selatan Menolak Praperadilan yang diajukan oleh Mantan Sekretaris Umum Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, Menantunya Rezky Herbiyono, dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal/MIT Hiendra Soenjoto. Sebagaimana diketahui bahwa Ketiga Orang ini melalui Kuasa Hukumnya mengajukan Praperadilan ke PN Jakarta Selatan Meminta Supaya Status Tersangkanya oleh KPK dibatalkan.
Adapun Dasar Hukum yang dijadikan alasan Para Pegiat Anti Korupsi agar PN Jakarta Selatan menolak Permohonan Ketiga Tersangka sekaligus Buronan KPK itu adalah adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2018 yang menegaskan dalam hal tersangka melarikan diri dan atau dalam status DPO, maka tidak dapat diajukan Permohonan Praperadilan. Selain dasar tersebut, hal ini diperkuat dengan KPK yang telah mengirimkan surat kepada Kapolri pada Selasa 11 Februari 2020 untuk meminta bantuan pencarian dan penangkapan Nurhadi.
” Dengan Dasar SEMA Nomor 1 Tahun 2018 wajib hukumnya bagi PN Jakarta Selatan untuk menolak Permohonan Pak Nurhadi, menantunya Rezky Herbiyono, dan Hiendra Soenjoto. Karena Pak Nurhadi jelas-jelas menghindar dari panggilan Penyidik KPK, bahkan melarikan diri dan atau bersembunyi sehingga KPK sudah menerbitkan DPO terhadap orang-orang ini serta KPK sudah berkoordinasi dengan Mabes Polri serta Pihak Terkait Lainnya termasuk Pihak Imigrasi “ pungkas Direktur Investigasi NGO Indonesia Law Enforcement (ILE) Bagus Jaya Wiratama P., SH kepada Redaksi LH melalui Telepon Selularnya (Minggu, 15/03/2020-Red).
Bagus melanjutkan, “ Mohon rekan-rekan Wartawan dan Para Aktivis Pegiat Anti Korupsi Pantau itu persidangan besok. Kami dari ILE juga akan turun langsung mengikuti Persidang itu, Insya-Allah. Jangan sampai ada lagi Praktek Mafia Peradilan pada perjalanan kasus ini. Apalagi kasus ini diduga terkait upaya pembongkaran terhadap Dedengkotnya Mafia Peradilan di Indonesia “ lanjut Direktur Investigasi NGO ILE itu.
Pada persidangan sebelumnya terkait kasus Praperadilan ini (Rabu, 11/03/2020-Red), saat itu KPK mengajukan Saksi Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta Riawan Tjandra. Riawan memberikan pendapat hukumnya di dalam persidangan bahwa Substansi SEMA itu berupa larangan maka sifatnya menjadi Perintah bagi Pengadilan. ” Harus melihat substansinya dulu. Kalau substansinya larangan, maka sifatnya perintah bagi pengadilan,” jawab Riawan Tjandra menjawab pertanyaan Kuasa Hukum Pemohon Maqdir yang berbunyi ” sifat memerintah dari SEMA ini Imbauan atau Kewajiban? “.
Dilain Pihak, menurut Anggota Kuasa Hukum Nurhadi (Pemohon Praperadilan) Hertanto mengatakan bahwa Pihaknya tetap berpendapat Penetapan Tersangka terhadap kliennya tidak sah. Sebab SPDP yang disampaiian KPK tidak diterima langsung oleh yangbersangkutan. ” Ya intinya sesuai dengan permohonan kita, menurut pendapat kita terjadi kesalahan dalam pengiriman SPDP ataupun penetapan tersangka Pak Nurhadi dkk, karena disitu pada saat proses penyidikan dimulai sudah langsung ditetapkan sebagai tersangka belum ada pemeriksaan calon tersangka seperti yang diamatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi, intinya seperti itu saja ” jelas Hertanto (Rabu, 11/03/2020-Red).
Sebagaimana diketahui bahwa Mantan Sekretaris MA Nurhadi telah ditetapkan Sebagai Tersangka Kasus Dugaan Suap-Gratifikasi Rp 46 Miliar. Setelah dua kali mangkir diperiksa sebagai tersangka, Nurhadi masuk menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penetapan Nurhadi sebagai DPO KPK ini disampaikan oleh Plt Jubir KPK Ali Fikri di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan (Kamis, 13/02/2020-Red). Menurut keterangan Fikri pada waktu itu, Selain Nurhadi, KPK juga memasukkan dua tersangka lain, yakni menantu Nurhadi Riezky Herbiyono dan Hiendra Soenjoto sebagai DPO.
MENGAPA SEMA NO I TAHUN 2018 PERLU ?
SEMA ini terbit dilatari semakin cenderungnya Permohonan Praperadilan diajukan oleh tersangka dalam Status Daftar Pencarian Orang (DPO), dimana saat itu belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu. Selain itu, SEMA Nomor 1 Tahun 2018 juga bertujuan untuk Memberikan Kepastian Hukum dalam proses pengajuan praperadilan bagi tersangka dengan status Daftar Pencarian Orang (DPO).
Ada tiga muatan pokok yang diatur SEMA Nomor 1 Tahun 2018. Pertama, tersangka yang sedang melarikan diri atau dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO) maka tidak dapat mengajukan praperadilan. Kedua, jika praperadilan tetap diajukan oleh penasehat hukum maupun keluarganya, maka hakim dapat menjatuhkan putusan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard). Sedangkan hal Ketiga, terhadap putusan tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum.
Berkaitan dengan hal ini, disisi lain Perluasan Objek Praperadilan Pasal 77 huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi (MK) membuka peluang besar bagi para DPO untuk memanfaatkan hal itu. Artinya, bunyi Amar Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 yang dikutip dari Situs mahkamah Konstitusi.go.id, jika di dalam Pasal 77 huruf (a) KUHAP mengatur kewenangan praperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, maka ” melalui putusan ini MK memperluas ranah praperadilan termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan “.
SEhingga menurut Logika Hukum, pada hakikatnya sangat tidak fair jika DPO ingin mendapatkan haknya melalui proses hukum, namun sebaliknya ia malah menghindari hukum dengan melarikan diri. (Dessy/TIM/Red)