611 views

PRAHARA OMNIBUS LAW

Oleh:
Achmad Solihin Siregar, SH, MH
Direktur LBH IPK Kabupaten Labuhan Batu

Omnibus Law di Indonesia yang belakangan ini sedang marak dibahas, sebenarnya adalah Undang-Undang biasa saja. Punya julukan “Omnibus” bukan berarti kemudian jadi memiliki hierarki baru di luar tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan menyadari bahwa pada dasarnya omnibus law adalah undang-undang, kita bisa membebaskan diri dari politik semantik yang bisa saja sedang berlangsung. Sebagai undang-undang, maka omnibus law tidak bisa lepas dan tidak terbebas pengaturan pembentukannya dari UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No.12 Tahun 2011 sebagaimana diubah oleh UU No.15 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan).

Sebagai undang-undang, omnibus law tetap harus mengacu pembentukannya pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah asas keterbukaan
Tercantum dalam daftar prioritas 2020, ada empat omnibus law: RUU Cipta Lapangan Kerja (disiapkan oleh Pemerintah), RUU Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian (disiapkan oleh Pemerintah), RUU Ibukota Negara (disiapkan oleh Pemerintah), dan RUU Kefarmasian (disiapkan oleh DPR).

Pertimbangan ekonomi dan upaya menggaet investor, nampak jelas menjadi salah satu latar belakang utama persiapan paket omnibus law ini. Dengan omnibus law Cipta Lapangan Kerja misalnya, Pemerintah mengharapkan terdorongnya pertumbuhan ekonomi mencapai 5,7% – 6%, dan terhindarnya Indonesia dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap).
Mengingat tingkat kerumitan yang luar biasa tinggi dalam pembahasan omnibus law ini, pelibatan publik dengan mendengarkan suara para pemangku kepentingan menjadi semakin penting. Sekadar contoh, untuk omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja diberitakan ada 2.517 pasal terdampak dari 83 Undang-Undang.

Tingginya tingkat kerumitan tersebut, justru membuat draft tersebut harus dibuka sejak awal untuk membuka ruang pembahasan bagi segenap pemangku kepentingan. Pasal 96 ayat (4) UU No.12 Tahun 2011 jelas menyatakan bahwa untuk memudahkan partisipasi masyarakat, setiap rancangan peraturan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Pemerintah dan DPR harus cermat dan bertanggungjawab dalam mengelola berbagai aspirasi masyarakat. Ada banyak kepentingan berlintasan dalam isu-isu omnibus law ini, kepentingan bisnis, perburuhan, investasi, kelestarian lingkungan, hak asasi manusia dan lain-lain. Perlu ada keseimbangan pendekatan yang proporsional dalam mengelola aspirasi publik yang mewakili berbagai pemangku kepentingan.

Melalui Keputusan Menko Perekonomian No.378 Tahun 2019, Pemerintah membentuk Satgas bersama Pemerintah dan KADIN untuk konsultasi publik omnibus law. Di sisi lain, diberitakan bahwa Presiden memberikan arahan kepada Kapolri, Kepala BIN, dan Jaksa Agung untuk ikut terlibat dan melakukan pendekatan kepada berbagai organisasi dalam rangka memuluskan pembahasan omnibus law. Perbedaan cara-cara pendekatan seperti ini perlu diubah.

Janganlah Pemerintah menggunakan pendekatan “ramah ke atas, galak ke bawah”…!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.