JAKARTA-LH: Rapat pleno ke – XVIII Dewan Pertimbangan MUI dan dialog bersama para tokoh partai politik digelar oleh Dewan Pertimbangan MUI. Dalam acara ini, Din Syamsuddin membahas penegakan marwah politik umat Islam.
Seusai rapat, Dewan Pertimbangan MUI mengeluarkan pernyataan resmi yang dibacakan oleh Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin. Salah satunya mengenai permintaan agar penegak hukum tak main-main dalam kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Berikut ini poin yang disampaikan Din. Tausiah kebangsaan tersebut disampaikan setelah rapat pleno di gedung MUI, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Rabu (26/04/2017-Red) sebagai berikut :
1. Bahwa kehidupan bangsa dewasa ini, terutama terkait Pilkada serentak dan hal-hal yang mengitarinya, telah menimbulkan perbedaan pandangan dan kepentingan politik yang tajam yang nyaris membawa perpecahan bangsa. Keadaan demikian ikut diperparah oleh pertentangan pendapat dan sikap terhadap kasus penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta dan proses peradilan yang menyertainya. Oleh karena itu, kepada keluarga bangsa dipesankan agar tidak terjebak kepada pertentangan dan permusuhan. Perbedaan aspirasi dan kepentingan politik tidak harus membawa perpecahan dan terganggunya persaudaraan kebangsaan.
2. Bahwa sebagaimana sikap dan pandangan keagamaan Majelis Ulama Indonesia tentang kasus penistaan agama pada tanggal 11 Oktober 2016 yang diperkuat dan didukung oleh tausiah kebangsaan Dewan Pertimbangan MUI pada 9 November 2016, maka harus dilakukan penegakan hukum secara berkeadilan, transparan, dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Tanpa bermaksud mencampuri proses peradilan, namun karena proses tersebut telah dengan kasat mata menunjukkan hal yang patut diduga adanya campur tangan, seperti ditunjukkan oleh penundaan penuntutan dan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum yang cenderung membebaskan terdakwa, maka Dewan Pertimbangan MUI menilai bahwa tuntutan itu telah mengusik rasa keadilan masyarakat, khususnya umat Islam. Untuk itu Dewan Pertimbangan MUI memesankan kepada lembaga penegak hukum agar berhati-hati dan berhenti dari kecenderungan mempermainkan hukum.
3. Mengajak penyelenggara negara, khususnya lembaga penegakan hukum untuk bersungguh-sungguh dan secara konsisten serta konsekuen menegakkan hukum secara berkeadilan. Jika tidak demikian, atau jika adanya campur tangan pemerintah dalam proses penegak hukum, maka hal itu potensial menimbulkan kepercayaan (distrust) yang kemudian membawa sikap ketidaktaatan (disobedience) rakyat terhadap hukum dan penegakan hukum. Lebih dari pada itu, jika ketidakadilan hukum itu, seperti atas kasus penistaan agama, berhubungan dengan keyakinan masyarakat, khususnya umat beragama (Islam), maka mereka akan mudah bangkit bergerak memprotesnya demi tegaknya kebenaran dan keadilan.
4. Mengajak semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat, khususnya umat berbagai agama, dalam rangka memelihara keamanan negara dan kerukunan bangsa, untuk mengembangkan toleransi dan wawasan kebinekaan sejati, yaitu budaya dan etika untuk tidak memasuki wilayah keyakinan pihak lain dan tidak mengganggu hal-hal suci yang dianut oleh pihak lain.
5. Sehubungan dengan situasi dan kondisi kehidupan bangsa akhir-akhir ini, seyogyanya segenap penyelenggara negara untuk tidak terbelenggu dan tersandera oleh ‘Satu Faktor Perusak dan Pemecah Belah Bangsa’. Terlalu rendah derajat kita jika hal itu terjadi, dan terlalu mahal harga yang harus dibayar jika kerusakan dan perpecahan terjadi di negeri ini.
6. Menghimbau seluruh umat Islam sebagai umat mayoritas di negeri ini untuk menjadi perekat bangsa dan mengedepankan akhlak agung dalam bermuamanah secara nasional. Di samping itu kita dituntut untuk mengokohkan ibadah dan tazkiyatun nafs dalam rangka menjaga keutuhan NKRI.
(F.Rahadian/Red)