778 views

Terkait SP3 BLBI, Mantan Pimpinan KPK Kritisi Revisi UU KPK, Mengapa Sebelum Revisi Tidak Dituntaskan ?

JAKARTA-LH: Heboh Nasional atas keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus Tindak Pidana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan Tersangka Sjamsul Nursalim (SN) dan Istrinya Itjih Samsul Nursalim (ISN). Keputusan penghentian kasus ini ditandatangani oleh KPK Pada Hari Rabu (31/03/2021-Red). Peristiwa ini spontan menghebohkan Publik Indonesia mengingat bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarahnya KPK mengeluarkan SP3.

Pengumuman atas penerbitan SP3 ini dilakuakan oleh Pimpinan KPK Pada Kamis (01/04/2021-Red). ” Penghentian Penyidikan terkait kasus TPK yang dilakukan oleh Tersangka SN (Sjamsul Nursalim) selaku Pemegang Saham Pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia, dan ISN (Itjih Samsul Nursalim) bersama-sama dengan SAT (Syafruddin Arsyad Temenggung) selaku Ketua BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia selaku Obligor BLBI kepada BPPN. Penghentian Penyidikan sebagai bagian adanya kepastian hukum sebagaimana Pasal 5 UU KPK ” ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam Konferensi Pers di Gedung Merah Putih Jl. Kuningan Persada, Setiabudi, Jakarta Selatan (Kamis, 01/04/2021-Red).

Selain Pasal 5 UU KPK, menurut Wakil Ketua KPK itu bahwa keputusan yang diambil Lembaga Anti Rasuah itu juga sesuai dengan Pasal 40 UU KPK (UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK).

Pasal 5
“ Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada: a. kepastian hukum; b. keterbukaan; c. akuntabilitas; d. kepentingan umum; e. proporsionalitas; dan f. penghormatan terhadap hak asasi manusia “ demikian bunyi Pasal 5 UU Nomor 19 Tahun 2019.

Pasal 40
“ (1) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan Penyidikan dan Penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) Tahun;
(2) Penghentian Penyidikan dan Penuntutan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) Minggu terhitung sejak dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan;
(3) Penghentian Penyidikan dan Penuntutan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) harus diumumkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik;
(4) Penghentian Penyidikan dan Penuntutan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dapat dicabut oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi apabila ditemukan Bukti Baru yang dapat membatalkan alasan Penghentian Penyidikan dan Penuntutan, atau berdasarkan Putusan Praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Perundang-Undangan “ begitu bunyi Pasal 40 UU Nomor 19 Tahun 2019.

Terkait SP3 yang diputuskan KPK ini, Mantan Ketua KPK (Periode 20 Desember 2010 – 16 Desember 2011) Busyro Muqoddas memberikan kritik pedasnya. Busyro mengatakan bahwa diterbitkannya SP3 ini menjadi bukti tumpulnya penegakan hukum akibat Revisi Undang-Undang KPK sebagai buah karya kebijakan Presiden Jokowi bersama DPR RI Tahun 2019 dengan diundangkannya UU NO 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK. ” Ucapan Sukses Besar bagi Pemerintah Jokowi yang mengusulkan Revisi UU KPK yang disetujui DPR juga Parpol-Parpol yang bersangkutan. Itulah penerapan kewenangan menerbitkan SP3 oleh KPK Wajah Baru ” ujar Busyro (01/04/2021-Red) sebagaimana dilansir CNNIndonesia.com (Jum’at, 02/04/2021-Red).

Lebih lanjut Busyro menegaskan, ” namun, harus Saya nyatakan dengan tegas lugas bahwa itu bukti nyata tumpul dan tandusnya rasa keadilan rakyat yang dirobek-robek atas nama Undang-undang KPK hasil Revisi Usulan Presiden ” tegas Mantan Ketua KPK tersebut.

Kendatipun Revisi UU KPK (UU No 19 Tahun 2019) mengundang Kontroversi dan banyak Pihak menganggap UU tersebut justru melemahkan KPK, namun pertanyaan yang paling mendasar dari Publik terkait Kasus BLBI ini adalah mengapa pada Masa Kepemimpinan KPK sebelumnya (sebelum Revisi UU KPK) Kasus BLBI ini Tidak dituntaskan ? Kemana saja saat diberi amanah memimpin Lembaga Anti Rasuah itu ? Padahal kasus BLBI ini sudah terjadi sejak Tahun 2000 (20 Tahun Lebih). Sudah 4 Rezim Presiden termasuk Jokowi, sudah 8 Ketua KPK termasuk Busyro Muqoddas sendiri, namun kasus ini tak kunjung dituntaskan.

Kasus BLBI ini sebenarnya sudah menjadi kasus ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI pada Agustus Tahun 2000 mengumumkan hasil Investigasinya yang dimulainya sejak Januari Tahun 2000 tentang temuan adanya kerugian Negara sebesar Rp 138,7 Triliun atas penyaluran Rp 147,7 Triliun oleh Bank Indonesia (BI) kepada 48 Bank. Artinya, Kasus ini sudah ditemukan oleh Lembaga Negara yang berwenang untuk itu dalam hal ini BPK-RI sejak Tahun 2000 yang lalu.

Perjalanan selanjutnya, Pada Desember 2002 Presiden Megawati mengeluarkan Inpres No 8 Tahun 2002 Tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Inpres inilah yang menjadi landasan hukum Surat Keterangan Lunas (SKL) dan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) atas kasus ini untuk pertama kalinya.

Kemudian, Pada Tahun 2008 KPK (Era Ketua KPK Antasari Azhar) menyatakan siap mengusut Kasus BLBI setelah beberapa SP3 dibatalkan oleh Kejaksaan Agung RI. Namun, baru 5 Tahun kemudian yakni Pada Tahun 2013 baru KPK menyelidiki pemberian SKL kepada Para Pengutang (Era Ketua KPK Abraham Samad-Red). Artinya, selama 5 Tahun setelah KPK menyatakan siap untuk mengusut Kasus ini namun tidak ada pergerakan. Dalam kurun waktu 5 Tahun ini pula didalamnya termasuk Era kepemimpinan Busyro Muqoddas sebagai Ketua KPK (Tahun 2010 – 2011).

Empat Tahun kemudian, tepatnya Tahun 2017 (Era Agus Raharjo sebagai Ketua KPK 2015 – 2019) barulah KPK meminta Keterangan sejumlah Mantan Pejabat terkait, antara lain Mantan Menko Perekonomian (Periode 1999-2000) Kwik Kian Gie , Mantan Menko Perekonomian (Periode 2000-2001) Rizal Ramli, Mantan Menteri Keuangan (Periode 1998-1999) Bambang Subianto, Mantan Menko Perekonomian (Periode 2001-2004) Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Mantan Menneg BUMN (Periode 1999-2004) Laksamana Sukardi, dan beberapa Mantan Pejabat BPPN seperti Achiran Pandu Djajanto dan I Putu Gede Ary Suta.

Akhirnya, Pada Tanggal 25 April 2017 KPK menetapkan Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsjad Temenggung (SAT) sebagai Tersangka. ” KPK menetapkan SAT sebagai Tersangka selaku Ketua BPPN diduga sudah menguntungkan Diri Sendiri atau Korporasi yang dapat merugikan Keuangan Negara dalam penerbitan SKL kepada Sjamsul Nursalim ” tungkas Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan saat itu dalam Konferensi Pers di Gedung KPK (Selasa, 25/04/2017-Red).

Syafruddin Arsjad Temenggung diduga korupsi terkait Penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim sebagai obligor BLBI Bank BDNI. “ SAT diduga melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP. Dimana Pasal-pasal itu mengatur tindakan korupsi, menguntungkan diri sendiri, atau orang lain, atau korporasi, secara bersama-sama dan melawan hukum “ jelas Basaria Panjaitan dalam Konferensi Pers tersebut. (TIM/Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.