JAKARTA-LH: Kurang lebih Tiga Jam setelah dirinya bersama 4 Orang lainnya ditetapkan menjadi Tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait Kasus Dugaan Korupsi berupa Penerimaan Suap Dana Bansos Covid-19, Menteri Sosial Juliari Peter Batubara (JPB) akhirnya menyerahkan diri sekira Pukul 02.50 WIB (Minggu, 06/12/2020-Red). Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) tersebut langsung ditahan KPK 20 Hari Pertama untuk kepentingan penyidikan. ” Para Tersangka kita lakukan penahanan, saat ini dilakukan penahanan di Rumah Tahanan Negara selama 20 Hari Pertama terhitung sejak Tanggal 5 Desember 2020 sampai dengan 24 Desember 2020 ” pungkas Ketua KPK Firli Bahuri (Minggu, 06/12/2020-Red).
Selain Mensos JPB, KPK juga menetapkan 4 Orang Tersangka lainnya setelah Operasi Tangkap Tangan (OTT) ini. Mereka adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kementerian Sosial (Kemensos) Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahyono (AW). Kemudian dari Pihak Swasta (Pemberi Suap) ada 2 Orang yaitu Ardian I M (AIM) dan Harry Sidabuke (HS). ” KPK menetapkan 5 Orang Tersangka, sebagai Penerima JPB (Juliari P. Batubara), MJS, dan AW. Sebagai Pemberi AIM dan HS ” lanjut Firli.
Sebagaimana pemberitaan LH (liputanhukum.com) sebelumnya, bahwa Kasus ini terbongkar lewat OTT terhadap 6 Orang (Jum’at Malam 04/12/2020-Red). Mereka yang diamankan saat OTT antara lain Matheus, Direktur PT Tiga Pilar Agro Utama Wan Guntar, Ardian, Harry, dan Sanjaya pihak swasta, serta Sekretaris di Kemensos Shelvy N.
Dalam OTT tersebut, KPK berhasil menyita Barang Bukti berupa Uang senilai Rp 14,5 Miliar yang disimpan dalam 7 Koper, 3 Tas Ransel, dan Amplop Kecil. Uang ini disiapkan oleh Ardian dan Harry Sidabuke. Mata Uangnya pun terdiri dari 3 Jenis yaitu Rupiah, Dollar Amerika Serikat, dan Dollar Singapura.
Ketua KPK Firli Bahuri juga menjelaskan bahwa Para Pihak yang terlibat dengan persekongkolan jahat ini menyepakati Fee sebesar Rp10.000,- Per Paket Bansos yang diduga diterima Juliari. Untuk Pelaksanaan Paket Bansos Sembako Periode Pertama diduga Fee sudah diterima JPB sebesar Rp 8,2 Miliar dari Total Rp 12 Miliar Fee. Uang Rp 8,2 M itu diserahkan secara tunai oleh Matheus kepada Juliari melalui Adi Wahyono. Uang tersebut selanjutnya dikelola oleh Eko dan Shelvy selaku orang kepercayaan Juliari untuk digunakan membayar berbagai keperluan Pribadi JPB (Politikus PDIP Tersebut).
Pertanyaan yang paling fundamental adalah Konsistenkah Ketua KPK Firli Bahuri dengan Statement-nya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI di Gedung Nusantara II Senayan Jakarta (Rabu, 29/04/2020-Red) yang lalu ? Pada saat RDP tersebut, Ketua KPK Firli Bahuri menegaskan bahwa terhadap Koruptor Dana Covid-19 akan dituntut dengan Hukuman Pidana Mati dengan berpedoman pada Adigum Latin Salus Populi Suprema Lex Esto Atau Salus Populi Suprema Est. ” Karena, sebagaimana yang kami sampaikan, Salus Populi Suprema Lex Esto, Keselamatan Masyarakat Merupakan Hukum Tertinggi. Maka, bagi yang melakukan Korupsi dalam Suasana Bencana, tidak ada pilihan lain dalam menegakkan hukum, yaitu Tuntutannya Pidana Mati ” tegas Firli saat itu.
Pelaksanaan Adigum itu sangat dimungkinkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang ada di Indonesia khususnya terkait Sanksi terhadap Para Koruptor Dana Bantuan Kemanusiaan Wabah Covid-19. Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Covid-19 Sebagai Bencana Nasional merupakan Payung Hukum yang dapat digunakan Aparat Penegak Hukum (APH) dalam hal ini KPK untuk menjerat Para Pelaku Korupsi Dana Covid-19 itu. Tinggal pertanyaannya, beranikah, mampukah, dan atau Konsistenkah KPK dalam Penerapan Hukum ? Seharusnya APH harus mampu dan berani sebab tindakan APH itu pastilah didukung Kepala Negara Presiden Joko Widodo. Sebab Presiden sudah mengumumkan sikapnya jauh hari sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengingatkan kabinetnya untuk tidak main-main dalam penggunaan Anggaran Bencana terutama saat Pandemi Covid-19.
Menurut Direktur Eksekutif Non Gouverment Organisation Indonesia Law Enforcement (NGO-ILE) R.S. Hasibuan, SH bahwa Penerapan hanya Pasal 12 Huruf a atau Pasal 12 Huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada kasus yang terkait Dugaan Korupsi Dana Bansos Covid-19 ini kurang lah pas dan kurang memadai. “ Sebab rujukan penerapan Pasal 2 Ayat (2) UU Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi ‘Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, Pidana Mati dapat dijatuhkan’ unsurnya sudah sangat terpenuhi. ‘Keadaan tertentu’ yang dimaksud Pasal 2 Ayat 2 itu sudah dijawab dalam Penjelasan Pasal tersebut dan Peraturan Pelaksananya pun sudah keluar yakni Keppres Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Covid-19 Sebagai Bencana Nasional. Jadi, menurut kami tidak ada alasan bagi Penyidik KPK dan APH yang akan menangani kasus ini untuk tidak menerapkan Pasal 2 Ayat 2 UU N0 31 Tahun 1999 Junto UU No 20 Tahun 2001 terhadap kasus ini yaitu Penerapan Hukuman Mati “ tegas Direktur Eksekutif ILE itu (Minggu, 06/12/2020-Red).
Kasus OTT ini merupakan ujian utama bagi APH Indonesia khususnya KPK dan Para Hakim yang akan mengadilinya kelak. Rakyat Indonesia sebagai Pemegang Hak Kedaulatan Tertinggi menuntut Hukum ditegakkan oleh APH tanpa pandang bulu. Fiat justitia ruat caelum, Artinya Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh. Kalimat ini diucapkan oleh Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM). (Fahdi Rahadian/Red)