436 views

Kontroversi Tuntutan Ahok Menurut Pengamat Hukum Chudry Sitompul

JAKARTA-LH: Menurut Pengamat hukum Chudry Sitompul menilai bahwa tuntutan Jaksa kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menimbulkan banyak kontroversi karena hal-hal sebagai berikut:

1. Jaksa Tidak Mengikutkan Bukti Saksi Ahli Dari MUI
2. Tidak Mempertimbangkan Yurisprudensi
3. Jaksa Harusnya Mewakili Kepentingan Masyarakat Bukan Golongan. Jaksa Satu Kesatuan Mulai Dari Jaksa Agung Sampai Jaksa Penuntut Umum
4. Diduga Ada Intervensi Politik
5. Bertentangan Dengan Sema No. 11 Tahun 1964
6. Menjadi Preseden Buruk Bagi Penegakan Hukum Di Indonesia
7. Ada Penerapan Pidana Yang Tidak Sama Terhadap Pidana Yang Sama
8. Penuntutan JPU Kental Transaksional
9. Saksi Dibawah Tekanan Tapi Tidak Dibela JPU Padahal Mereka Yang Mengajukan Saksi Tersebut Contoh Ketum MUI
10. Penundaan Pembacaan Tuntutan Karena Ada Pilkada
11. Penggunaan Pasal Oleh JPU Dalam Tuntutan Yang Tidak Konsisten Tidak Sesuai Dakwaan

Berdasarkan hal-hal tersebut dapat diuraikan bahwa JPU dalam tuntutannya tidak mengindahkan keterangan-keterangan dari para saksi ahli yang dihadirkan oleh pihak JPU sendiri seperti halnya kesaksian dari KH Ma’ruf menerangkan bahwa pendapat MUI tegas menyatakan bahwa Ahok telah menghina Al Quran Surat Al Maidah 51.

Selain itu, pendapat saksi ahli dari PBNU KH Miftahul Akhyar di persidangan juga menyatakan mantan bupati Bangka Belitung itu menghina Al Quran dan Ulama. MUI menilai Ahok secara sah telah menistakan Al Quran dan menghina Ulama. Karena itu, KH Miftahul Akhyar yang mewakili mengungkapkan hal tersebut. Sikap Ahok pun dinilai telah memecah belah umat. Muhammadiyah pun mengungkapkan hal senada.

Pembacaan Tuntutan oleh JPU yang seharusnya dibacakan pada sidang hari Selasa (11/04/2017-Red) ditunda pada hari Kamis (20/04/2017-Red) karena jaksa penuntut umum mengaku belum selesai menyusun surat tuntutan.

Seperti telah diketahui bahwa pada Kamis (06/04/2017-Red) lalu, beredar foto surat penundaan sidang tuntutan perkara Basuki Tjahaja Purnama terkait kasus penistaan agama yang diajukan Polda Metro Jaya. Isi surat itu menyarankan agar pembacaan tuntutan ditunda hingga Pilkada DKI putaran kedua.

“Disarankan kepada ketua agar sidang dengan agenda tuntutan perkara dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk ditunda setelah tahap Pemungutan suara Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua,” bunyi surat itu.

Surat yang ditujukan oleh Ketua PN Jakarta Utara itu dibuat pada Selasa (04/04/2017-Red). Di surat tersebut juga dijelaskan, alasan pengajuan penundaan adalah demi menjaga keamanan dan ketertiban.

“Mengingat semakin rawannya situasi keamanan di DKI Jakarta, maka demi kepentingan keamanan dan ketertiban masyarakat, serta akan dilaksanakan pengamanan tahap pemungutan suara pemilukada DKI Jakarta putaran II, dimana perkuatan pasukan Polri dan TNI akan dikerahkan semua,” bunyi surat itu.

Selain ditujukan ke Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara, surat itu juga ditembuskan ke Ketua Mahkamah Agung, Kapolri, Irwasum Kapolri, Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Di kanan bawah surat, juga telah ditandatangani Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Mochammad Iriawan.

Penundaan pembacaan tuntutan oleh JPU menunjukkan jaksa tidak independen. Terbukti dari permintaan penundaan pembacaan tuntutan setelah pemungutan suara pada Pilgub DKI selesai dilakukan.

Tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap terdakwa kasus penodaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bertentangan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 11 Tahun 1964 tentang Penghinaan Terhadap Agama.

Pada sidang pembacaan tuntutan, Kamis 20 April 2017, JPU menuntut Ahok hukuman satu tahun penjara dengan dua tahun masa percobaan. Hal ini pun lantas menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.

Tuntutan itu sangat bertentangan dengan SEMA Nomor 11 Tahun 1964 karena SEMA itu menginstruksikan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar orang yang terlibat penodaan agama diberikan hukuman berat. Adapun isi dari SEMA No. 11 Tahun 1964 :

“ Karena Agama mrupakan unsur yang penting bagi pendidikan rokhaniah, maka Mahkamah Agung anggap perlu menginstruksikan, agar barang siapa melakukan tindak pidana yang bersifat penghinaan terhadap Agama diberi hukuman berat.”

Sebelumnya, JPU mendakwa Ahok dengan pasal alternatif yakni Pasal 156a KUHP dan Pasal 156 KUHP. Pada pembacaan tuntutan, Ahok dituntut dengan menggunakan Pasal 156 KUHP tentang Penghinaan terhadap Golongan, bukan 156a KUHP tentang Penodaan Agama. Sehingga dalam hukumannya, JPU menuntut sangat ringan yakni pidana satu tahun dengan masa percobaan dua tahun. Karena tuntutan jaksa sangat ringan sehingga menimbulkan keraguan bagaimana memberikan hukuman berat (sesuai SEMA).

Kasus-kasus penistaan agama yang sudah divonis pidana penjara oleh pengadilan antara lain kasus Tajul Muluk alias H Ali Murtadha divonis empat tahun penjara oleh pengadilan negeri Sampang tahun 2012, kasus Sebastian Joe divonis lima tahun penjara oleh Mahkamah Agung tahun 2013.

Kasus Antonius Richmond Bawengan divonis lima tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Tumenggung tahun 2011, kasus Arswendo Atmowiloto divonis lima tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 1991, dan kasus Rusgiani divonis satu tahun dua bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Denpasar tahun 2013.

Pertanyaannya bagaimana vonis yang akan dijatuhkan kepada Ahok jika tuntutan JPU sangat ringan. Tuntutan pidana kepada Ahok sangat ringan dan mencederai keadilan masyarakat. Kita tinggal berharap kepada majelis hakim untuk berani memutus pidana penjara maksimal dengan mengesampingkan azas ultra petita atas nama keadilan masyarakat.

Ketentuan ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum). Ketentuan HIR merupakan hukum acara yang berlaku di pengadilan perdata di Indonesia. (RZ/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.